Dolar Perkasa, Beban Utang Bertambah Berat

Jumat, 19 Apr 2024

JAKARTA. Pemerintah perlu segera mengencangkan ikat pinggang. Pasalnya, tren pelemahan nilai tukar rupiah bakal memperberat beban fiskal lantaran pembayaran utang dan bunga utang bakal menjadi lebih besar. Pada Kamis (18/4), rupiah masih melampaui Rp 16.000, yakni Rp 16.179 per dolar Amerika Serikat (AS), meski menguat 0,25% dari sebelumnya Rp 16.220 per dolar AS. Mengacu data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah per akhir Februari 2024 mencapai Rp 8.319,22 triliun. Adapun besaran utang valuta asing (valas) pemerintah mencapai Rp 2.335,82 triliun, setara 28,08%. Perinciannya, Rp 1.388,92 triliun adalah utang berupa surat berharga negara (SBN) valas. Sisanya yakni Rp 946,90 triliun dalam bentuk pinjaman luar negeri. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah menargetkan pembiayaan utang senilai Rp 648,1 triliun. Dari angka itu, pemerintah berencana menarik pinjaman luar negeri senilai Rp 17,1 triliun. Sementara nilai penerbitan SBN valas tahun ini tak dijelaskan pemerintah. Pemerintah juga mengalokasikan pembayaran bunga utang Rp 497,3 triliun, rekor tertinggi setidaknya dalam lima tahun terakhir. Dari angka itu, Rp 40,47 triliun atau 8,14% di antaranya adalah pembayaran bunga utang luar negeri.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira bilang, semakin lemah rupiah, maka ada selisih dalam pembayaran kewajiban utang. Kondisi ini bisa memperlebar defisit anggaran. Pasalnya, sebagian pendapatan negara berbentuk rupiah. Sementara pemerintah harus membayar sebagian bunga dan pokok utang dalam bentuk valas. Belum lagi, koreksi rupiah akan direspons dengan kenaikan imbal hasil agar investor tetap tertarik membeli SBN. Sementara, bunga yang terlalu mahal menyebabkan ruang fiskal menyempit hingga tarik menarik dana alias crowding out effect ke sektor riil. "Investor dan deposan akan lebih tertarik membeli SBN dibandingkan investasi ke instrumen bank dan mengganggu penyaluran kredit ke dunia usaha," kata Bhima, kemarin.

Mitigasi dan kendali

Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet melihat, dampak pelemahan rupiah terhadap utang dalam bentuk SBN tak signifikan lantaran proporsi valasnya relatif kecil. Hanya saja, ia mewanti-wanti pinjaman luar negeri pemerintah mendominasi utang dalam bentuk pinjaman secara keseluruhan. "Jika tahun ini pinjaman itu jatuh tempo, maka ada selisih pembayaran yang harus dibayarkan dari perubahan nilai rupiah dari pinjaman luar negeri pemerintah," ujar dia. Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Riko Amir menyatakan APBN 2024 masih mampu membayar bunga utang sesuai target. "Ini mengingat sebagian besar portofolio utang dalam tingkat bunga tetap, sehingga tak terdampak kenaikan suku bunga global," tutur dia kepada Kontan, kemarin. Selain itu, porsi SBN valas semakin menurun, searah pengembangan pasar domestik. Alhasil, efek perubahan nilai mata uang dapat ditekan. Dalam menentukan pengadaan utang baru, kata Riko, pemerintah sebelumnya sudah memitigasi untuk mengendalikan peningkatan bunga utang. Pertama, menyesuaikan waktu penerbitan sehingga diperoleh biaya dan risiko yang seimbang. Kedua, mengutamakan pengadaan utang dengan suku bunga tetap untuk mengurangi exposure suku bunga. Ketiga, mengutamakan pengadaan utang dalam rupiah untuk mengurangi risiko. Keempat, mengoptimalkan pembiayaan non-utang untuk mengurangi dampak tekanan jangka pendek di pasar keuangan terhadap upaya pembiayaan utang pemerintah. Kelima, kinerja APBN cukup baik sehingga pembiayaan utang bisa dikendalikan.

Sumber : Kontan 19 April 2024

 


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)