Rupiah Digencet Perang & Arus Keluar Dana Asing

Jumat, 19 Apr 2024

JAKARTA. Nilai tukar rupiah diproyeksi masih akan terjerembab lebih dalam. Selain efek ketegangan politik di Timur Tengah dan tingginya suku bunga secara global, rupiah semakin terbebani tren keluarnya dana asing dari pasar modal Indonesia. Berdasarkan data RTI Business, investor asing masih melakukan transaksi jual bersih (net sell) saham Rp 724 miliar di seluruh pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (18/4). Ini memperpanjang tren net sell, sejak perdagangan kembali dibuka usai libur Lebaran pada Selasa (16/4). Sehingga aliran dana asing di saham berkurang menjadi Rp 13,68 triliun. Aliran keluar dana asing semakin deras di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Per 17 April 2024, kepemilikan asing alias non residen di pasar SBN tercatat hanya sekitar Rp 804,55 triliun dibandingkan Rp 842,55 triliun di awal tahun 2024. Ini artinya terjadi dana keluar sekitar Rp 38,27 triliun sejak awal tahun di pasar surat utang Indonesia. Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengamati, hengkangnya dana asing kemungkinan menuju pasar Amerika Serikat. Tercermin dari tren penguatan dolar AS (USD) dan naiknya yield US Treasury belakangan ini.

Dolar AS dan US Treasury dianggap sebagai pelarian utama dari efek kecamuk di Timur Tengah. Di tambah lagi potensi penundaan pemangkasan suku bunga The Fed. Sehingga, investor mengutamakan keamanan daripada keuntungan (risk averse). "Hampir semua negara mengalami tekanan yang sama seperti rupiah. Jadi saya lihat masih wajar tekanan rupiah saat ini," kata Fikri, Kamis (18/4). Dalam jangka pendek, rupiah masih akan berada dalam rentang Rp 15.800–Rp 16.400 per dolar AS. Sebab, dampak dari situasi pasar terkini mengenai prospek suku bunga tinggi, serta perang antara Israel-Iran baru akan terasa pasca pasar kembali aktif dari libur Lebaran.

Cadangan devisa turun

Rupiah juga bergantung data neraca perdagangan ekspor impor yang dirilis awal pekan depan. "Apabila neraca perdagangan surplus masih di atas US$ 3 miliar, kemungkinan positif untuk rupiah. Apabila nilai surplus lebih rendah atau bahkan defisit, bakal ada tekanan lanjutan bagi rupiah ke 16.500," imbuhnya. Jika sudah begini intervensi Bank Indonesia (BI) ataupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak hanya lewat open market operation, tetapi bisa menawarkan berbagai instrumen yang bisa menarik minat investasi asing. "Instrumen surat utang global dalam bentuk dolar AS ataupun mata uang lainn" kata Fikri. Dengan asumsi risiko di pasar keuangan global mereda, Fed berpotensi pangkas suku bunga di akhir Juni atau awal Juli, rupiah seharusnya berada di Rp 14.800–Rp 15.500 per dolar AS pada semester I-2024. Jika pemangkasan bunga Fed dilakukan dua hingga tiga kali di semester kedua, kemudian BI melakukan intervensi yang sama, rupiah diharapkan bisa di level Rp 15.200 per dolar AS di akhir tahun 2024. Sebaliknya, rupiah bisa lebih rendah lagi apabila perang geopolitik berkepanjangan, tidak ada pemangkasan bunga Fed. Skenario terburuk, rupiah bisa terperosok ke Rp 16.200–Rp 16.700 per dolar AS di semester I-2024 dan kemungkinan di area Rp 16.400–Rp 17.000 di akhir tahun ini.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong menambahkan, prospek rupiah sangat berat hingga akhir tahun ini. Proyeksi itu seiring kemungkinan The Fed tidak jadi memangkas suku bunga. Sehingga akhirnya menurunkan nilai ekspor dan neraca perdagangan Indonesia. "BI bisa terus melakukan intervensi, tetapi di saat bersamaan menggerus cadangan devisa," kata Lukman, kemarin. Keluarnya dana asing akan membebani rupiah sebagai mata uang free float . Di sisi lain, "Mengerek suku bunga bisa menekan pertumbuhan ekonom," tandas Lukman. Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, kondisi outflow asing sampai risiko ketidakpastian di pasar global berkurang. Saham-saham yang "dibuang" asing akan koreksi.

Sumber : Kontan 19 April 2024

 


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)