Eropa Terjebak Di Tepian Resesi

Selasa, 19 Jul 2022

Bisnis, JAKARTA — Ekspektasi atas pembalikan ekonomi di Eropa memudar, tatkala Italia, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Benua Biru itu mencatatkan lonjakan utang dan memicu potensi gagal bayar alias default. Kondisi ini pun menyulitkan gerak Eropa yang mencoba beranjak dari tepian resesi.

 

Apalagi,  sejumlah  survei yang dilakukan  oleh  lembaga  independen menemukan adanya peningkatan  kepanikan masyarakat dan pelaku pasar perihal  prospek  ekonomi  Eropa. MLIV Pulse, misalnya, yang merekam  84%  dari  792  responden  berlatarbelakang manajer investasi  dan  pengusaha  ritel  meyakini  Benua  Biru  akan  terjebak  pada  kubangan  resesi. Sejalan dengan itu, 69% responden menilai mata uang tunggal di blok  tersebut  akan  lunglai  melawan  dolar  Amerika  Serikat  (AS)  dengan  posisi  US$0,9  per  euro,  sedangkan  responden  yang  memandang Eropa mampu mengelak dari  resesi  hanya  16%. Parahnya lagi, 41% dari responden  melihat  resesi  akan  menghampiri Eropa dalam enam bulan ke  depan  yang  dipicu  oleh  krisis  utang yang menjalar dari Itaia ke negara  lain. Pun dengan survei yang dilakukan Bloomberg. Kalangan ekonom memperkirakan, European Central Bank (ECB) akan kewalahan untuk menangkal resesi akibat tingginya utang  dan  potensi  gagal  bayar  di  negara  kawasan  itu. Survei tersebut mencatat, otoritas moneter di Eropa akan melakukan aksi sterilisasi melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh negara-negara tertentu dalam rangka menahan laju kenaikan  utang. Dalam  laporannya,  Bloomberg  Economics  menuliskan  bahwa  apabila  situasi  politik  berubah  menjadi tidak bersahabat dan pemerintah  baru  Italia  tidak  dapat  menyetujui jalan ke depan dengan Komisi  Eropa,  ECB  secara  realistis  tidak  dapat  diharapkan  untuk  melakukan  intervensi  moneter. “Hasilnya  akan  menjadi  bias  dan berpotensi krisis,” tulis laporan  tersebut,  dilansir  Bloomberg, Senin  (18/7).

Baik  MLIV  Pulse  maupun  Bloomberg meyakini, ECB akan melakukan  intervensi  setelah  premi  imbal hasil surat utang Italia atas Jerman mencapai 450 basis poin, jauh melampaui ambang batas 250 basis  poin  sebagaimana  estimasi  pada  awal  tahun  ini. Kondisi  inilah  yang  melandasi  otoritas moneter untuk melakukan langkah  apapun  dalam  rangka  menjaga stabilitas nilai tukar euro dan  mencegah  terjadinya  krisis  yang  lebih  luas. Kendati telah menyiapkan langkah antisipatif, kalangan ekonom menilai  krisis  di  Benua  Biru  tak  lagi  bisa  dihindari. Ahli  Strategi  Nomura  Holdings  Inc.,  UBS  Group  AG,  dan  BCA  Research  Inc.  mengestimasi  nilai  tukar  euro  akan  tertekan  hingga  US$0,90 dalam waktu dekat, dan berpotensi  terus  menurun. Tekanan juga menjalar di pasar saham,  dengan  responden  MLIV  Pulse mengatakan bahwa otomotif dan real estat adalah sektor yang paling  merasakan  dampak  dari  dinamika  ini. Selain  itu,  sektor  perbankan  tengah terimpit lantaran tersengat sentimen negatif dari potensi gagal bayar utang perusahaan dan krisis kredit  di  seluruh  wilayah. Beban negara-negara Eropa makin  berat  setelah  terbukti  gagal  membendung  lesatan  inflasi  terutama  akibat  krisis  pangan  dan  energi  yang  dipicu  oleh  prang  Rusia-Ukraina sejak Februari 2022. Terlebih,  Rusia  yang  menjadi  pemasok  energi  utama  Eropa  mengancam  untuk  mengetatkan  distribusi gas dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Ekspektasi resesi telah meningkat cukup cepat pada kemungkinan penjatahan  gas,  dan  jika  itu  berhasil,  Anda  bisa  melihat  banyak  perusahaan bangkrut,” kata Craig Inches, Analis di Manajemen Aset Royal  London.

Dia menambahkan tekanan harga  yang  meningkat  berdampak  besar  pada  rumah  tangga  dan  aktivitas perusahaan. Kekhawatiran  bertambah  pascapenghentian  distribusi  skala  penuh  gas  Rusia. Inilah yang kemudian mendesak ECB  untuk  menaikkan  suku  bunga acuan pertama kalinya dalam lebih  dari  satu  dekade  terakhir. Selain  Italia,  Jerman  menjadi  negara  di  Eropa  yang  mulai  terjebak  dalam  belenggu  krisis.  Musababnya,  negara  tersebut  amat  bergantung  pada  pasokan  gas  Rusia. Apalagi,  raksasa  energi  Rusia  Gazprom  PJSC,  yang  telah  memangkas  pasokan  melalui  pipa  Nord Stream menjadi hanya 40% dari kapasitasnya, telah mengisyaratkan untuk mengurangi pasokan. Keputusan  ini  kemudian  mereduksi optimisme investor terhadap ekonomi Jerman hingga merosot ke level terendah sejak 2011. Deutsche Bank  AG  pun  memproyeksikan ekonomi  terbesar  di  Eropa  itu  akan terkontraksi 1% pada 2023. Dalam kaitan ini, kalangan analis dan  pebisnis  pun  berekspektasi  ECB menghentikan kenaikan suku bunga  jika  Rusia  mematikan  pasokan  gas  ke  sejumlah  negara  Eropa. Apabila skenario itu terjadi, bank sentral mendapatkan momentum untuk  membantu  dunia  usaha  mewujudkan pemulihan ekonomi yang  lebih  solid. Sementara itu, beberapa pembuat kebijakan  ECB  telah  mengisyaratkan  bahwa  pergerakan  nilai  tukar  euro  bukan  satu-satunya  faktor untuk menelurkan kebijakan moneter  yang  lebih  akomodatif.

Intervensi  pada  stabilitas  mata  uang hanya akan dilakukan apabila  menimbulkan  dampak  yang  signifikan pada pergerakan harga barang  di  tingkat  konsumen. ”ECB  tidak  menargetkan  nilai  tukar.  Namun,  kami  selalu  mewaspadai  dampak  nilai  tukar  terhadap  inflasi,  sejalan  dengan  mandat kami untuk menjaga stabilitas  harga,”  kata  Anggota  ECB  Francois  Villeroy  de  Galhau. Sejatinya,  ECB  juga  berperan  dalam terpuruknya ekonomi Eropa dan jebakan krisis yang dihadapi oleh  negara  di  kawasan  itu.  Pasalnya,  aksi  bank  sentral  dalam  merespons  aksi  agresif  otoritas  moneter  di  kawasan  lain  amat  lambat. Pada saat yang sama, kenaikan suku  bunga  oleh  Bank  Sentral  AS,  The  Fed,  yang  makin  besar  telah menciptakan perbedaan suku bunga  sebagai  salah  satu  fondasi  penyangga  stabilitas  mata  uang. Ahli  Strategi  ING  Groep  NV,  Chris Turner mengatakan lambannya respons dini mendorong ECB berada  di  persimpangan  untuk  menyiapkan  berbagai  instrumen  kebijakan guna menangkal resesi. “Dihadapkan  dengan  risiko  resesi  yang  menjulang  tangan  ECB  mungkin terikat dalam kemampuannya untuk mengancam kenaikan suku  bunga  yang  lebih  agresif  dalam  mempertahankan  euro,”  jelasnya.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia (19 Juli 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)