Bisnis, JAKARTA — Ekspektasi atas pembalikan ekonomi di Eropa memudar, tatkala Italia, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Benua Biru itu mencatatkan lonjakan utang dan memicu potensi gagal bayar alias default. Kondisi ini pun menyulitkan gerak Eropa yang mencoba beranjak dari tepian resesi.
Apalagi, sejumlah survei yang dilakukan oleh lembaga independen menemukan adanya peningkatan kepanikan masyarakat dan pelaku pasar perihal prospek ekonomi Eropa. MLIV Pulse, misalnya, yang merekam 84% dari 792 responden berlatarbelakang manajer investasi dan pengusaha ritel meyakini Benua Biru akan terjebak pada kubangan resesi. Sejalan dengan itu, 69% responden menilai mata uang tunggal di blok tersebut akan lunglai melawan dolar Amerika Serikat (AS) dengan posisi US$0,9 per euro, sedangkan responden yang memandang Eropa mampu mengelak dari resesi hanya 16%. Parahnya lagi, 41% dari responden melihat resesi akan menghampiri Eropa dalam enam bulan ke depan yang dipicu oleh krisis utang yang menjalar dari Itaia ke negara lain. Pun dengan survei yang dilakukan Bloomberg. Kalangan ekonom memperkirakan, European Central Bank (ECB) akan kewalahan untuk menangkal resesi akibat tingginya utang dan potensi gagal bayar di negara kawasan itu. Survei tersebut mencatat, otoritas moneter di Eropa akan melakukan aksi sterilisasi melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh negara-negara tertentu dalam rangka menahan laju kenaikan utang. Dalam laporannya, Bloomberg Economics menuliskan bahwa apabila situasi politik berubah menjadi tidak bersahabat dan pemerintah baru Italia tidak dapat menyetujui jalan ke depan dengan Komisi Eropa, ECB secara realistis tidak dapat diharapkan untuk melakukan intervensi moneter. “Hasilnya akan menjadi bias dan berpotensi krisis,” tulis laporan tersebut, dilansir Bloomberg, Senin (18/7).
Baik MLIV Pulse maupun Bloomberg meyakini, ECB akan melakukan intervensi setelah premi imbal hasil surat utang Italia atas Jerman mencapai 450 basis poin, jauh melampaui ambang batas 250 basis poin sebagaimana estimasi pada awal tahun ini. Kondisi inilah yang melandasi otoritas moneter untuk melakukan langkah apapun dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar euro dan mencegah terjadinya krisis yang lebih luas. Kendati telah menyiapkan langkah antisipatif, kalangan ekonom menilai krisis di Benua Biru tak lagi bisa dihindari. Ahli Strategi Nomura Holdings Inc., UBS Group AG, dan BCA Research Inc. mengestimasi nilai tukar euro akan tertekan hingga US$0,90 dalam waktu dekat, dan berpotensi terus menurun. Tekanan juga menjalar di pasar saham, dengan responden MLIV Pulse mengatakan bahwa otomotif dan real estat adalah sektor yang paling merasakan dampak dari dinamika ini. Selain itu, sektor perbankan tengah terimpit lantaran tersengat sentimen negatif dari potensi gagal bayar utang perusahaan dan krisis kredit di seluruh wilayah. Beban negara-negara Eropa makin berat setelah terbukti gagal membendung lesatan inflasi terutama akibat krisis pangan dan energi yang dipicu oleh prang Rusia-Ukraina sejak Februari 2022. Terlebih, Rusia yang menjadi pemasok energi utama Eropa mengancam untuk mengetatkan distribusi gas dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Ekspektasi resesi telah meningkat cukup cepat pada kemungkinan penjatahan gas, dan jika itu berhasil, Anda bisa melihat banyak perusahaan bangkrut,” kata Craig Inches, Analis di Manajemen Aset Royal London.
Dia menambahkan tekanan harga yang meningkat berdampak besar pada rumah tangga dan aktivitas perusahaan. Kekhawatiran bertambah pascapenghentian distribusi skala penuh gas Rusia. Inilah yang kemudian mendesak ECB untuk menaikkan suku bunga acuan pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade terakhir. Selain Italia, Jerman menjadi negara di Eropa yang mulai terjebak dalam belenggu krisis. Musababnya, negara tersebut amat bergantung pada pasokan gas Rusia. Apalagi, raksasa energi Rusia Gazprom PJSC, yang telah memangkas pasokan melalui pipa Nord Stream menjadi hanya 40% dari kapasitasnya, telah mengisyaratkan untuk mengurangi pasokan. Keputusan ini kemudian mereduksi optimisme investor terhadap ekonomi Jerman hingga merosot ke level terendah sejak 2011. Deutsche Bank AG pun memproyeksikan ekonomi terbesar di Eropa itu akan terkontraksi 1% pada 2023. Dalam kaitan ini, kalangan analis dan pebisnis pun berekspektasi ECB menghentikan kenaikan suku bunga jika Rusia mematikan pasokan gas ke sejumlah negara Eropa. Apabila skenario itu terjadi, bank sentral mendapatkan momentum untuk membantu dunia usaha mewujudkan pemulihan ekonomi yang lebih solid. Sementara itu, beberapa pembuat kebijakan ECB telah mengisyaratkan bahwa pergerakan nilai tukar euro bukan satu-satunya faktor untuk menelurkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif.
Intervensi pada stabilitas mata uang hanya akan dilakukan apabila menimbulkan dampak yang signifikan pada pergerakan harga barang di tingkat konsumen. ”ECB tidak menargetkan nilai tukar. Namun, kami selalu mewaspadai dampak nilai tukar terhadap inflasi, sejalan dengan mandat kami untuk menjaga stabilitas harga,” kata Anggota ECB Francois Villeroy de Galhau. Sejatinya, ECB juga berperan dalam terpuruknya ekonomi Eropa dan jebakan krisis yang dihadapi oleh negara di kawasan itu. Pasalnya, aksi bank sentral dalam merespons aksi agresif otoritas moneter di kawasan lain amat lambat. Pada saat yang sama, kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Fed, yang makin besar telah menciptakan perbedaan suku bunga sebagai salah satu fondasi penyangga stabilitas mata uang. Ahli Strategi ING Groep NV, Chris Turner mengatakan lambannya respons dini mendorong ECB berada di persimpangan untuk menyiapkan berbagai instrumen kebijakan guna menangkal resesi. “Dihadapkan dengan risiko resesi yang menjulang tangan ECB mungkin terikat dalam kemampuannya untuk mengancam kenaikan suku bunga yang lebih agresif dalam mempertahankan euro,” jelasnya.
Sumber: Bisnis Indonesia (19 Juli 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |