Beban Utang Melambung

Kamis, 07 Jul 2022

Bisnis, JAKARTA — Kendati prospek penerimaan negara cukup cerah, belanja bunga utang pada tahun ini diestimasi lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.

Belanja  bunga  utang  yang meningkat dipicu  oleh  tingginya  volatilitas  pasar  keuangan  global  dan  domestik  serta  kenaikan  suku  bunga  acuan  oleh  bank  sentral  utama. Pemerintah  dalam  Laporan  tentang  Pelaksanaan  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Negara  (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran  2022  mencatat  outlook belanja  bunga  utang  pada  tahun  ini  mencapai  Rp403,87  triliun. Angka  tersebut  naik  sebesar  17,57%  dibandingkan  dengan  realisasi  belanja  bunga  utang  pada  tahun  lalu  yang  mencapai  Rp343,5  triiun. Pemerintah  berargumen,  pembengkakan belanja bunga utang ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, outstanding  utang  negara  dan  tambahan  utang  pemerintah. Kedua,  tingginya  volatilitas  di  pasar  keuangan,  baik  global  maupun  domestik. Ketiga,  perubahan  nilai  tukar  yang  berdampak  pada  peningkatan  bunga  utang  dalam  mata  uang  asing.  Keempat, kenaikan suku bunga acuan  yang  memengaruhi  imbal  hasil Surat Berharga Negara (SBN) serta berdampak pada pengadaan utang baru dan suku bunga acuan pinjaman. Sebagai  gambaran,  imbal  hasil  Surat  Utang  Negara  bertenor  10  tahun mencapai 7,32% per 5 Juli, naik  93,9  basis  poin  sepanjang  tahun  berjalan.  “Pada semester I/2022, sentimen pemulihan  ekonomi  AS  yang  ditandai  meningkatnya  inflasi  dan yield  US  Treasury  serta  konflik geopolitik Rusia dan Ukraina mengakibatkan peningkatan yield SBN,” tulis  pemerintah  dalam  laporan. Sejalan dengan itu, tren peningkatan  imbal  hasil  SBN  domestik  diperkirakan  berlanjut  sampai  dengan  akhir  tahun  depan. Sebagai  langkah  mitigasi  untuk mengendalikan belanja bunga utang,  pemerintah  akan  memanfaatkan pembiayaan nonutang berupa optimalisasi Saldo Anggaran Lebih  (SAL)  yang  akan  menurunkan  target  penarikan  utang  dan  mengoptimalkan  pinjaman  program  yang  memiliki  biaya  relatif  lebih  murah. Kendati  telah  menyiapkan  mitigasi  risiko,  kalangan  ekonom  mengingatkan  pemerintah  untuk  melakukan antisipasi dini sehingga beban bunga utang dalam jangka panjang masih dalam jangkauan.

Menurut  ekonom  Institute  for  Development  of  Economics  and  Finance (Indef) Esther Sri Astuti, salah satu strategi yang perlu dioptimalkan adalah dengan menggali sumber  penerimaan  baru. “Karena utang, baik luar negeri maupun  domestik,  sudah  besar  yang ini bisa mempersempit ruang fiskal,”  katanya  saat  dihubungi,  Rabu  (6/7). Esther menambahkan, meskipun pada tahun ini prospek penerimaan negara masih cukup menjanjikan, otoritas fiskal tetap perlu memacu setoran  melalui  ekstensifikasi. Direktur  Center  of  Economic  and Law Studies Bhima Yudhistira menambahkan, prospek kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI)  sebagai  respons  atas  pengetatan moneter bank sentral global juga  patut  diwaspadai. Musababnya,  hal  itu  akan  mengatrol  bunga  utang  pemerintah.  Bhima  memperkirakan  puncak  kenaikan suku bunga acuan akan terjadi pada tahun depan sehingga kupon  SBN  diperkirakan  berada  pada kisaran 7%—9% per tahun. “Jadi,  memang  tantangannya  adalah memitigasi lonjakan pembayaran  bunga  utang,”  ujarnya.

Pada  tahun  ini,  outlook  penerimaan  negara  memang  cukup  cerah.  Hal  itu  terefleksi  di  dalam  outlook APBN  2022  yang  menurut  pemerintah  total  pendapatan  negara dapat mencapai Rp2.436,9 triliun,  naik  dari  realisasi  pendapatan  negara  tahun  lalu  yang  senilai  Rp2.003,1  triliun.  Sejalan  dengan  pertumbuhan  pendapatan  negara,  rasio  bunga  utang tahun ini turun. Berdasarkan perhitungan  Bisnis,  rasio  bunga  utang terhadap pendapatan negara pada  2022  sebesar  16,57%  atau  lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2021, rasio utang terhadap pendapatan 17,14% dan pada tahun sebelumnya atau tahun pertama hawar virus corona, rasio mencapai  19,06%. Dalam  kaitan  tata  kelola  utang  yang  lebih  baik,  Ekonom  Center  of  Reform  on  Economics  (Core)  Indonesia  Yusuf  Rendy  Manilet  menyarankan  kepada  pemerintah  untuk  memanfaatkan  skema  pendanaan  alternatif. Alternatif itu di antaranya penerbitan  sukuk  ataupun  green  bond  untuk  membiayai  proyek-proyek strategis, terutama yang berkaitan dengan  isu-isu  lingkungan. “Mencari pembiayaan yang murah  melalui  penerbitan  obligasi  ritel juga bisa menjadi salah satu solusi,”  ujarnya. Sementara itu, Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian  Keuangan  Luky  Alfirman mengatakan  beban  bunga  utang  pemerintah tetap terjangkau seiring dengan  adanya  Surat  Keputusan  Bersama  (SKB)  dengan  Bank  Indonesia  (BI). Dia  menjelaskan  beban  bunga  utang pemerintah berkurang karena skema burden sharing dalam SKB II dan III yang sebagian beban bunga utang ditanggung BI dan sebagian SBN  yang  diterbitkan  memiliki  biaya yang lebih rendah dari pasar. “Dengan  berkurangnya  beban  utang tersebut, pemerintah dapat menghemat biaya utang, yang pada akhirnya  pemerintah  memiliki  ruang  fiskal  yang  lebih  baik,”  ujarnya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia (7 Juli 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)