Bisnis, JAKARTA — Kendati prospek penerimaan negara cukup cerah, belanja bunga utang pada tahun ini diestimasi lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.
Belanja bunga utang yang meningkat dipicu oleh tingginya volatilitas pasar keuangan global dan domestik serta kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama. Pemerintah dalam Laporan tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran 2022 mencatat outlook belanja bunga utang pada tahun ini mencapai Rp403,87 triliun. Angka tersebut naik sebesar 17,57% dibandingkan dengan realisasi belanja bunga utang pada tahun lalu yang mencapai Rp343,5 triiun. Pemerintah berargumen, pembengkakan belanja bunga utang ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, outstanding utang negara dan tambahan utang pemerintah. Kedua, tingginya volatilitas di pasar keuangan, baik global maupun domestik. Ketiga, perubahan nilai tukar yang berdampak pada peningkatan bunga utang dalam mata uang asing. Keempat, kenaikan suku bunga acuan yang memengaruhi imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) serta berdampak pada pengadaan utang baru dan suku bunga acuan pinjaman. Sebagai gambaran, imbal hasil Surat Utang Negara bertenor 10 tahun mencapai 7,32% per 5 Juli, naik 93,9 basis poin sepanjang tahun berjalan. “Pada semester I/2022, sentimen pemulihan ekonomi AS yang ditandai meningkatnya inflasi dan yield US Treasury serta konflik geopolitik Rusia dan Ukraina mengakibatkan peningkatan yield SBN,” tulis pemerintah dalam laporan. Sejalan dengan itu, tren peningkatan imbal hasil SBN domestik diperkirakan berlanjut sampai dengan akhir tahun depan. Sebagai langkah mitigasi untuk mengendalikan belanja bunga utang, pemerintah akan memanfaatkan pembiayaan nonutang berupa optimalisasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang akan menurunkan target penarikan utang dan mengoptimalkan pinjaman program yang memiliki biaya relatif lebih murah. Kendati telah menyiapkan mitigasi risiko, kalangan ekonom mengingatkan pemerintah untuk melakukan antisipasi dini sehingga beban bunga utang dalam jangka panjang masih dalam jangkauan.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, salah satu strategi yang perlu dioptimalkan adalah dengan menggali sumber penerimaan baru. “Karena utang, baik luar negeri maupun domestik, sudah besar yang ini bisa mempersempit ruang fiskal,” katanya saat dihubungi, Rabu (6/7). Esther menambahkan, meskipun pada tahun ini prospek penerimaan negara masih cukup menjanjikan, otoritas fiskal tetap perlu memacu setoran melalui ekstensifikasi. Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menambahkan, prospek kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) sebagai respons atas pengetatan moneter bank sentral global juga patut diwaspadai. Musababnya, hal itu akan mengatrol bunga utang pemerintah. Bhima memperkirakan puncak kenaikan suku bunga acuan akan terjadi pada tahun depan sehingga kupon SBN diperkirakan berada pada kisaran 7%—9% per tahun. “Jadi, memang tantangannya adalah memitigasi lonjakan pembayaran bunga utang,” ujarnya.
Pada tahun ini, outlook penerimaan negara memang cukup cerah. Hal itu terefleksi di dalam outlook APBN 2022 yang menurut pemerintah total pendapatan negara dapat mencapai Rp2.436,9 triliun, naik dari realisasi pendapatan negara tahun lalu yang senilai Rp2.003,1 triliun. Sejalan dengan pertumbuhan pendapatan negara, rasio bunga utang tahun ini turun. Berdasarkan perhitungan Bisnis, rasio bunga utang terhadap pendapatan negara pada 2022 sebesar 16,57% atau lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2021, rasio utang terhadap pendapatan 17,14% dan pada tahun sebelumnya atau tahun pertama hawar virus corona, rasio mencapai 19,06%. Dalam kaitan tata kelola utang yang lebih baik, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan kepada pemerintah untuk memanfaatkan skema pendanaan alternatif. Alternatif itu di antaranya penerbitan sukuk ataupun green bond untuk membiayai proyek-proyek strategis, terutama yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. “Mencari pembiayaan yang murah melalui penerbitan obligasi ritel juga bisa menjadi salah satu solusi,” ujarnya. Sementara itu, Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan beban bunga utang pemerintah tetap terjangkau seiring dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Bank Indonesia (BI). Dia menjelaskan beban bunga utang pemerintah berkurang karena skema burden sharing dalam SKB II dan III yang sebagian beban bunga utang ditanggung BI dan sebagian SBN yang diterbitkan memiliki biaya yang lebih rendah dari pasar. “Dengan berkurangnya beban utang tersebut, pemerintah dapat menghemat biaya utang, yang pada akhirnya pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih baik,” ujarnya.
Sumber: Bisnis Indonesia (7 Juli 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |