Parlemen punya usul menarik. Legalitas kolaborasi antara Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah dalam pembiayaan semasa krisis bakal dipermanenkan. Apalagi, sejauh ini peran BI dianggap signifikan untuk menopang kebijakan fiskal Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Usulan itu termuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau Omnibus Law Keuangan. Regulasi sapu jagat yang menjadi RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu mengusulkan agar bank sentral berperan sebagai pembeli siaga Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana ketika terjadi krisis. Dalam draf yang diperoleh Bisnis, Omnibus Law Keuangan mengusulkan penambahan pasal baru yakni Pasal 11A yang mengacu pada UU No. 3/2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Secara konkret, bank sentral diperkenankan untuk membeli SBN di pasar perdana dalam rangka pencegahan dan/atau penanganan krisis sistem keuangan, termasuk untuk menangani persoalan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional. Adapun, asumsi krisis yang menjadi dasar dari peran BI sebagai pembeli siaga mengacu pada UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Mekanisme yang dirumuskan pun sama seperti skema saat BI terlibat di dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama pandemi Covid-19, yakni dilegalisasi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Dengan demikian, usulan tersebut menganulir ketentuan larangan BI membeli SBN di pasar perdana sebagaimana termuat dalam Pasal 55 UU No. 3/2004. Saat ditemui Bisnis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak bersedia memberikan penjelasan mengenai dampak serta peluang dilanjutkannya posisi bank sentral sebagai penopang fiskal dalam Omnibus Law Keuangan. “Nanti saja kalau sudah ada RUU-nya ya,” kata Menkeu, Rabu, (6/7). Sejak hawar virus Corona melanda, peran bank sentral memang cukup krusial. BI dan pemerintah tercatat telah menandatangani tiga SKB untuk membantu pembiayaan APBN 2020 hingga APBN 2022. Pada SKB I, pembelian SBN oleh BI di pasar perdana mencapai Rp75,86 triliun baik melalui lelang, lelang tambahan atau Green Shoe Option (GSO), dan penawaran langsung atau private placement. Adapun pada SKB II, BI menanggung beban untuk pembiayaan public goods melalui pembelian SBN dengan mekanisme private placement dengan nilai Rp397,56 triliun. Sementara itu, dalam SKB III bank sentral berkomitmen membeli SBN di pasar perdana senilai Rp224 triliun. Besarnya kontribusi bank sentral dalam pengelolaan fiskal di tengah krisis memang cukup efektif. Hal itu tecermin dari realisasi defisit anggaran yang sejak tahun pertama pandemi Covid-19 terkendali dengan baik. Akan tetapi, kalangan ekonom menilai usulan ini berisiko melahirkan tingginya ketergantungan pemerintah tergadap otoriritas moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi ketika terjadi krisis. Apalagi, sejumlah lembaga termasuk International Monetary Fund (IMF) pun mengkritisi mekanisme burden sharing atau berbagi beban antara pemerintah dan bank sentral selama hawar virus Corona. Musababnya, kerja sama tersebut berisiko menguras keuangan bank sentral. Terlebih, BI juga menanggung sebagian bunga utang dalam pembelian SBN dengan mekanisme private placement. Pun dengan World Bank yang menilai besarnya bantuan bank sentral pada pengelolan fiskal berisiko mengganggu fungsi utama yakni menjaga stabilitas harga. Selain itu, kerja sama tersebut juga berpotensi mengusik independensi BI serta meningkatkan ketergantungan fiskal.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai rencana untuk menempatkan BI sebagai pembeli siaga bakal mengancam kepercayaan investor. Menurutnya, usulan ini seolah menempatkan bank sentral di bawah kendali otoritas fiskal sehingga menjadi juru kunci tatkala pemerintah membutuhkan dana segar guna penanganan krisis. “Berarti kapan pun pemerintah ingin, menunjuk BI untuk menyalurkan pinjaman melalui SBN di pasar primer, itu menggerus kepercayaan pelaku pasar,” kata dia. Bhima menambahkan, skema ini akan menyulut gejala pelemahan nilai tukar yang makin dalam karena adanya guncangan pada psikologis pasar akibat berkurang kepercayaan investor terhadap bank sentral. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menambahkan, idealnya BI tidak bisa membeli SBN di pasar perdana. Adapun dalam kaitan krisis akibat pandemi Covid-19, hal itu dilegalisasi melalui penerbitan UU No. 2/2020 sehingga menjadi dasar bagi bank sentral untuk menopang fiskal. Sementara itu, Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan DPR Hendrawan Supratikno menjamin independensi BI. Dia menegaskan, kemandirian bank sentral merupakan amanat konstitusi. “Independensi BI itu ada di konstitusi, Pasal 23D UUD 1945,” katanya.
Sumber: Bisnis Indonesia (7 Juli 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |