Pesta kenaikan harga komoditas atau commodity booming cepat atau lambat akan berakhir. Akankah kondisi ini memacu penerapan bursa karbon dan instrumen pengendalian emisi lainnya dengan lebih cepat di Indonesia?
Pada era pascapandemi ketika ekonomi memantul dari kejatuhannya, upaya mencapai target nol emisi karbon yang berkejaran dengan waktu dihadapkan pada paradoks baru. Lonjakan kebutuhan energi fosil yang menerbangkan harga komoditas. Bahkan, negara-negara Barat yang paling vokal menyerukan transisi energi, kini merapat ke Indonesia demi mendapat jatah batu bara untuk kebutuhan musim dingin. Kondisi ini telah diakui secara luas sebagai blessingindisguise bagi Indonesia yang kaya sumber daya. Hasan Fawzi, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) menyematkan pandangan optimistis mengenai situasi ini, bahwa aliran ekspor dari lonjakan harga komoditas bakal memberi Indonesia bahan bakar untuk mempercepat upaya iklimnya. Hal itu tentu saja dengan catatan bahwa pemerintah dan sektor swasta tidak kemudian gelap mata dan melupakan investasi berkelanjutan. Bursa karbon, bersama dengan instrumen lain seperti pajak karbon, berada di jantung utama dari upaya tersebut. “Kami harapkan ada percepatan, karena ada berkah commoditybooming. Sekalipun ada perubahan yang seolah-olah tertangkap sebagai inkonsistensi,” kata Hasan dalam sebuah webinar, Senin (20/6). Sementara itu, perdagangan emisi telah lazim di beberapa belahan dunia, perlu diakui bahwa bursa karbon di Indonesia masih dalam tahap awal persiapan. Peta jalannya diatur dalam Peraturan Presiden No.98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Setidaknya ada lima sektor yang bakal dikenakan batas atas emisi, yakni energi, limbah, industrialprocessesandproductuse (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Setelah regulasi induk tersebut diteken pada 2021, tahun ini pemerintah dijadwalkan menyusun sejumlah elemen penting seperti sertifikat pengurangan emisi (SPEI), sistem registrasi nasional (SRN), mekanisme measurement, reporting, verification (MRV), resultbasedpayment (RBP), dan lain sebagainya. Selanjutnya pada 2023, pemerintah bakal mengembangkan infrastruktur bursa karbon. Dalam Perpres No.98/2021 disebutkan bahwa bursa karbon akan mulai digelar pada 2024. Adapun, Undang-Undang No.7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP) menargetkan satu tahun lebih lambat pada 2025. Beleid tersebut memang belum mengatur secara pasti lembaga mana yang berhak menyelenggarakan bursa karbon dua tahun ke depan. Luthfi Zain Fuady, Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggarisbawahi harmonisasi regulasi sebagai pekerjaan rumah penyelenggaraan bursa karbon. Sejauh ini penggodokan regulasi bursa karbon menyoroti sejumlah isu, antara lain karakteristik nilai ekonomi karbon sebagai instrumen yang diperdagangkan, peran lembaga kliring dan penyimpanan (LKP) dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian (LPP), serta peran kementerian dan lembaga di pasar primer maupun sekunder. “Juga sejauh mana infrastruktur perdagangan BEI dapat mengakomodir perdagangan karbon,” ujarnya. Pandu Sjahrir, Vice President Director PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) mengatakan 21 persen dari 2.000 perusahaan publik terkemuka dunia telah mengumumkan komitmen nol emisi mereka. Hal itu mencerminkan potensi pasar dan permintaan yang tinggi dari bursa karbon. Permintaan karbon offset diproyeksikan akan meningkat hingga 1.235 juta ton per tahun pada 2040 vs 41 juta ton per tahun pada 2020. Namun, jalan panjang masih terbentang mengingat faktanya, 85 persen emisi karbon tidak masuk sistem perdagangan karbon sejauh ini. “Indonesia ada potensi menjadi market karbon paling besar di dunia, karena land kita salah satu yang paling besar, posisi kita sudah strategis,” jelasnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong BEI untuk segera mempersiapkan infrastruktur, perangkat, dan instrumen terkait perdagangan karbon. Penguatan fundamental ini akan mendorong peluang untuk berebut pasar pembiayaan hijau sehingga memacu proses transisi ekonomi hijau lebih cepat dan efektif. “Bursa Efek Indonesia secara khusus perlu dipersiapkan untuk terlibat dalam transaksi perdagangan karbon guna membiayai transisi pembangkit listrik tenaga batu bara serta mengadopsi prinsip-prinsip environment, social, dan governance,” kata Airlangga. Pada Juli mendatang, Indonesia berencana menerapkan skema cap-trade-tax, khusus untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Dengan skema tersebut, pembangkit listrik tenaga batu bara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas, akan dikenakan pajak tambahan. Selain cap-trade-tax, dikenal pula skema baseline and crediting. Jika cap-trade-tax mencakup industri di sektor tertentu dengan batas atas emisi yang ditetapkan, skema baseline and crediting dapat diikuti semua perusahaan dengan unit karbon yang diperdagangkan bernama carboncredit. Skema captrade dan carboncredit menjadi pilihan untuk diterapkan di sektor-sektor lain kemudian hari. Namun, diperlukan pertukaran informasi, pengalaman, serta peningkatan SDM dan teknologi guna mewujudkan reformasi nilai ekonomi karbon yang lebih baik. “Efektivitas berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi karbon membutuhkan dukungan semua pihak terutama juga para cendekia yang sangat ditunggu masukannya guna memperbaiki kebijakan ataupun menyempurnakan regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah,” ujarnya.
Sumber: Bisnis Indonesia (22 Juni 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |