Diterpa Kenaikan Suku Bunga, Harga SUN Berpotensi Melemah

Senin, 30 May 2022

JAKARTA – Harga Surat Utang Negara (SUN) pada pekan ini diperkirakan melemah sejalan dengan meningkatnya imbal hasil (yield) menjadi 7,08% pada 27 Mei 2022. Langkah Bank Indonesia yang cenderung agresif dalam menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) akan mendorong suku bunga perbankan untuk naik, yang tentunya berdampak pada peningkatan yield obligasi.

Analis Fixed Income PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin menjelaskan, pada rapat minggu lalu Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan lebih berhati-hati dengan tidak menaikkan suku bunga acuan. Meski demikian, BI menaikkan GWM secara lebih agresif dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Januari 2022, BI berencana menaikkan GWM tiga kali yakni di bulan Maret sebanyak 5,0%, April 6,0% dan September 6,5%. Namun, di rapat terakhir, BI mengubah rencana tersebut dan menaikkan persentasenya lebih agresif, menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022, 7,5% mulai 1 Juli 2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022. Dengan demikian, pengetatan likuiditas di pasar keuangan akan berlangsung lebih cepat, yang mendorong suku bunga untuk naik. Sebagai hasilnya, yield diperkirakan mulai bergerak naik ke depan. “Minggu lalu, tekanan di pasar obligasi cenderung mereda. Yield obligasi Indonesia turun seiring dengan penurunan premi dan yield US Treasury. Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia kembali bergerak turun ke level di bawah 100, menunjukkan premi yang diminta investor menjadi lebih rendah,” jelas Ahmad kepada Investor Daily, akhir pekan lalu Dia menerangkan, yield US treasury turun setelah rilis FOMC meeting minutes menunjukkan bahwa the Fed tidak se-hawkish ekspektasi market. Fed telah mengindikasikan akan melakukan beberapa kenaikan 50bps pada setiap FOMC meeting. “Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, saya memperkirakan yield obligasi akan bergerak pada kisaran 7,10%-7,30%,” ujar dia.

Pada Selasa (31/5), Pemerintah Indonesia berencana melakukan lelang SUN sebanyak 6 seri dengan target indikatif sebesar Rp 9 triliun. Ahmad memperkirakan, penawaran yang masuk mencapai 1,5-2 kali dari target indikatif. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan permintaan adalah kondisi pasar eksternal yang jauh lebih stabil. Investor domestik diperkirakan masih mendominasi permintaan dalam lelang tersebut. Sementara investor asing mulai menambah kepemilikan di pasar obligasi, yang tercermin dari jumlah beli bersih selama pekan lalu mencapai Rp 1,33 triliun. Secara terpisah, Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Maximilianus Nico Demus berpendapat bahwa yield obligasi 10 tahun bergerak pada kisaran 6,95% hingga 7,10%. 6,25%-6,35% untuk 5 tahun, 7,25%–7,35% untuk 15 tahun dan 7,30%–7,45% untuk 20 tahun. Nico mengatakan, pasar obligasi mulai menemukan ritmenya untuk bisa kembali mengalami penurunan imbal hasil. Dengan fundamental ekonomi yang semakin membaik, tampaknya pasar obligasi memperoleh kekuatannya meskipun masih dalam keadaan yang rentan. “Potensi penurunan imbal hasil obligasi masih terbuka lebar, namun tetap perhatikan volatilitas yang terjadi di pasar apalagi menjelang kehadiran data inflasi,” papar Nico. Menurut Nico, pasar obligasi masih akan dipengaruhi oleh inflasi, kenaikkan tingkat suku bunga, dan current account deficit. Oleh sebab itu, keadaan makro ekonomi juga akan mempengaruhi pergerakan pasar obligasi. Nico juga menilai, investor asing belum akan kembali secara penuh. Namun, mereka tetap akan menaruh obligasi Indonesia dalam portfolionya, hanya saja porsinya dikurangi. Hal ini terlihat dari porsi obligasi bagi kepemilikkan asing yang saat ini hanya 16,5%, dari sebelumnya hampir 40% dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.

Sumber: Investor Daily (30 Mei 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)