Perlahan tapi pasti, saham emiten petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) sudah naik hampir 40% sejak awal tahun. Bagaimana prospeknya?
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) memang jarang tampil sebagai top gainers di hari-hari perdagangan bursa. Namun, pergerakan harga saham emiten besutan crazy rich Prajogo Pangestu tersebut diam-diam menghanyutkan. Pada perdagangan Senin (25/4), saham entitas anak PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) tersebut terkoreksi 0,49% ke posisi Rp10.200 per saham. Secara year-to-date, total kenaikan harga saham TPIA menjadi 39,25%, tepatnya dari posisi Rp7.325 pada awal tahun. Secara valuasi, saham TPIA sebenarnya tidak bisa lagi dikatakan murah. Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, rasio price earning saham perseroan sudah berada pada kisaran 101,82x, dengan rasio price to book value (PBV) 5,29x. Kendati demikian, rencana perseroan untuk membagikan dividen tunai senilai US$11 juta dalam waktu dekat masih menjadi magnet yang menarik kedatangan para investor. Dalam beberapa sesi perdagangan terakhir, TPIA sebenarnya mulai mengalami sinyal lego di kalangan investor asing. Namun, bila direkapitulasi sejak awal tahun, investor asing masih membukukan net buy hingga Rp169,72 miliar per penutupan Senin (25/4). Sebagai informasi, rencana pembagian dividen TPIA sebelumnya telah disetujui oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang dihelat Senin (18/4).
RUPST tersebut mengetok palu keputusan pembagian dividen tunai 50% dari total laba bersih perseroan 2021 atau sekitar US$76 juta. Namun, mengingat perseroan telah membagikan dividen interim US$65 juta pada tahun lalu, maka nominal tambahan yang akan cair pun cuma mentok di kisaran US$11 juta atau sekitar Rp157,84 miliar (kurs perseroan). Bila dikonversi ke dalam rupiah dan dibagi dengan jumlah saham beredar, nominal tersebut setara Rp7,29 per saham. Dengan asumsi harga saham perseroan per penutupan Senin (25/4), potensi yield yang bisa didapat investor bila membeli saham TPIA sekarang berada pada kisaran 0,07%. Bila ditarik ke rekam jejaknya, yield tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan tinggi. Adapun, rekor terendah yield interim maupun final TPIA dalam 11 tahun terakhir berada di level 0,25%.
Karenanya, tidak heran jika analis Bloomberg mewanti-wanti investor untuk mulai waspada dalam bertransaksi saham TPIA. Berdasarkan rating konsensus terkini, hanya tinggal 2 dari 6 analis yang masih menyematkan rekomendasi buy atau overweight. Sedangkan 4 lainnya cenderung menyematkan rating hold atau netral terhadap saham TPIA. Kendati dinilai rawan bikin was-was, bukan berarti TPIA kehilangan daya tarik mereka. Sebab, analis menilai secara teknikal gerakan emiten tersebut masih menarik. Termasuk analis Samuel Sekuritas William Mamudi, yang masih menyematkan rating buy terhadap emiten tersebut. “TPIA telah rebound dari angka bulat Rp10.000. Target berikutnya adalah Rp10.725, dengan cut loss pada Rp10.125,” papar analis Samuel Sekuritas William Mamudi, pekan lalu. Secara kinerja bisnis, proyeksi performa TPIA masih dibayang-bayangi ketidakpastian. Konsensus Bloomberg menilai ada potensi perseroan mengalami stagnasi atau potensi koreksi bottom line. Harga minyak menjadi salah satu faktor yang dinilai berpengaruh. Sebagai perusahaan petrokimia yang produksinya bergantung pada nafta, kecenderungan harga minyak yang tinggi berpotensi bikin margin perseroan terkikis. Kendati demikian, Direktur Keuangan TPIA Andre Khor sebelumnya sempat berkata kalau perusahaannya telah menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapi volatilitas.
“Selama bisa menyediakan layanan yang baik ke pasar domestik, kami punya natural hedging kalau harga naik, sehingga margin tetap terlindungi,” tuturnya. Mengamini pernyataan Andre, Direktur TPIA Suryandi juga menyatakan kalau saat ini belum bisa diestimasi secara presisi sejauh apa harga minyak akan berdampak. Tetapi, perseroan terus melakukan pengamatan dan berjanji bakal memberikan respons cepat sesuai situasi pasar. “Srateginya, kami selalu melihat seberapa besar kenaikan harga minyak berpengaruh pada bahan baku kami, nafta, sehingga harus mencermati dari inventori, pembelian, dan bagaimana kebutuhan dari nafta tersebut. ”Selain penyesuaian kebijakan operasional terhadap harga nafta, TPIA juga masih optimistis kinerja mereka bisa terus tumbuh seiring rencana penguatan produksi dan transformasi digital. Tahun ini, perseroan telah mengalokasikan dana jumbo US$200 juta untuk berbagai keperluan. Pembangunan kompleks petrokimia kedua (CAP 2), maintenance fasilitas, dan transformasi digital merupakan tiga pagu andalan terbesar.
Sejauh ini, rencana alokasi belanja jumbo tersebut belum mendapat penilaian negatif. Termasuk oleh Pefindo, yang masih memberikan penilaian positif. Dalam pemeringkatan terbaru akhir Maret kemarin, Pefindo masih memberikan rating keseluruhan AA- atau stabil untuk TPIA. Perseroan juga dinilai masih akan sanggup melunasi sejumlah kewajibannya, termasuk pembayaran surat utang Bond II Tahap II yang akan jatuh tempo pada 29 Mei 2022 mendatang. “TPIA berencana membayar seluruh kewajibannya dengan kas internal. Per 31 Desember 2021, mereka masih memiliki kas yang ekuivalen senilai US$2 miliar, termasuk deposit berjangka dan dana hasil rights issue Rp1,1 miliar yang rencananya akan digunakan untuk membangun kompleks petrokimia baru,” tulis Pefindo dalam siaran persnya.
Sumber: Bisnis Indonesia (26 April 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |