Bisnis, JAKARTA — Tidak meratanya pasokan batu bara dengan harga khusus untuk industri menyebabkan kinerja ekspor sektor semen terus melorot. Pada kuartal pertama tahun ini, ekspor semen tercatat turun 25% secara tahunan.
Anjloknya ekspor semen pada 3 bulan pertama tahun ini ditengarai akibat minimnya pasokan batu bara untuk sejumlah pabrik semen yang ada di dalam negeri. Harga khusus sebesar US$90 per metrik ton melalui skema domestic market obligation (DMO) pun dianggap sia-sia karena sulitnya mendapatkan emas hitam tersebut. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan adanya alokasi khusus batu bara untuk industri semen. Hal ini dinilainya akan menjadi jalan keluar dari seretnya pasokan batu bara yang sejak tahun lalu menghambat kinerja ekspor sektor tersebut. “Nanti setiap produsen semen akan diminta untuk menyampaikan secara resmi kepada Kementerian ESDM agar mereka diberikan pengalokasian tambahan, agar bisa mendapatkan batu bara DMO dengan harga DPO [Domestic Price Obligation] yang nilainya US$90,” kata Eddy saat dihubungi Bisnis, Selasa (19/4). Dalam rapat dengar pendapat dengan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR), terungkap bahwa kebutuhan batu bara untuk industri sepanjang tahun lalu berkisar 7 juta ton. Namun, yang terpenuhi hanya sekitar 5,5 juta ton. Kekurangan pasokan sebesar 1,5 juta ton tersebut pun menyebabkan sejumlah lini produksi untuk orientasi ekspor terpaksa dihentikan. Kementerian Perindustrian mencatat kebutuhan batu bara untuk industri semen akan meningkat hingga 16,66 juta ton. Perusahaan industri yang paling banyak kebutuhan batu baranya, antara lain Semen Indonesia, PT Semen Tonasa, dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP).
Kebutuhan batu bara dari ketiga pabrikan semen tersebut pada tahun ini masing-masing mencapai 2,44 juta ton, 2,16 juta ton, dan 1,63 juta ton. Eddy menjelaskan, bahwa saat ini industri semen masih diliputi kondisi oversupply yang menahun dengan utilitas kapasitas produksi hanya berkisar 60%. Dia berharap, persoalan pasokan batu bara dapat segera teratasi, sehingga industri dapat meningkatkan utilitas kapasitas produksinya. “Saat ini pertumbuhan industri semen itu tidak diikuti dengan permintaan, terjadi over kapasitas. Jangan juga nanti industri semen terbebani lagi dengan membeli bahan bakar dengan harga yang mahal,” katanya. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mencatat kinerja ekspor semen pada kuartal pertama 2022 sekitar 2,1 juta ton yang terdiri dari 1,8 juta klinker dan sisanya semen. Ketua Umum ASI Widodo Santoso mengatakan bahwa kebijakan harga DMO sebesar US$90 per metrik ton belum berjalan dengan baik meski sudah diberlakukan sejak November 2021. “Diharapkan kuartal kedua kebijakan DMO untuk komoditas semen yang merupakan kategori 10 barang penting untuk kebutuhan pembangunan bisa tersuplai kebutuhan bahan bakar batu bara dengan lancar dan harga yang sesuai DMO,” kata Widodo. Untuk mengatasi melorotnya kinerja semen, Widodo juga mengusulkan moratorium pembangunan pabrik baru hingga 2030. Hal itu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan oversupply semen, di mana kapasitas terpasang di dalam negeri mencapai 116 juta ton, sedangkan permintaan pada tahun lalu hanya sebanyak 67 juta ton. “ASI sudah mengusulkan untuk pemberlakuan moratorium, karena sampai dengan 2030 kebutuhan semen masih bisa mencukupi,” ujarnya.
Selain menyebabkan utilitas kapasitas produksi industri semen tak maksimal, kondisi oversupply juga menimbulkan perang harga di pasaran yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. ASI mencatat ada dua pabrik baru beroperasi pada tahun lalu, yakni Semen Singa Merah dan Semen Grobogan. Semen Singa Merah diketahui merupakan merek milik Jember Hongshi Cement yang merupakan perusahaan patungan Hongshi Holding Group asal China dengan PT Semen Imasco Asiatic Indonesia. Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Imam Suyudi mengatakan, izin kedua pabrik tersebut sudah terbit beberapa tahun silam. Dia menggarisbawahi bahwa investasi baru pabrik semen rata-rata membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Selain izin awal, masih banyak perizinan yang dibutuhkan dan lahan yang cukup luas untuk bisa mendirikan pabrik. “Izinnya [Semen Singa Merah dan Semen Grobogan] dari 2016 dan 2017,” kata Imam.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan kenaikan alokasi DMO batu bara dari semula 25% menjadi 30%. Bahkan, usulan tersebut telah tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan atau EBT. “Akan ada dedicated supply untuk industri semen. Ini sudah kami sampaikan, beliau [Menteri ESDM] juga sudah menyetujui, bahwa secara prinsip itu bisa dilaksanakan,” kata Eddy. Secara terperinci, rencana penaikan DMO batu bara menjadi 30% tercantum pada Pasal 6 ayat 6 draftRUU EBT. Beleid tersebut menyebutkan bahwa untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik tak terbarukan, penyediaan batu bara dilakukan dengan mekanisme DMO dan ketentuan minimal 30% dari rencana produksi. Harganya dipatok paling tinggi US$70 per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcl per kg. Meskipun secara teori alokasi DMO 25%, kata dia, dalam praktiknya banyak industri yang belum mendapatkan harga sesuai skema tersebut meskipun telah melakukan tender berkali-kali. Hal tersebut pun senada dengan yang disampaikan oleh Direktur Utama Semen Indonesia Donny Arsal dalam rapat dengar pendapat pada pekan lalu yang menyebut, dari total produksi batu bara tahun lalu sebesar 665 juta ton, volume DMO-nya sebesar 166 juta ton. Dari jumlah tersebut, 77% atau sekitar 127 juta ton di antaranya sudah terserap untuk kebutuhan listrik PT PLN (Persero), sedangkan 23% sisanya diperebutkan oleh berbagai industri, termasuk semen. “Tidak ada dedicated bahwa kami pasti dapat, kalau di-matching PT A, B, C kemana [pasokannya], sehingga dapat kepastian bahwa DMO-nya akan dialokasikan,” kata Donny.
Kementerian ESDM sebelumnya menyebut produksi batu bara dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) tahun ini seluruhnya sekira 1 miliar ton. Jika DMO dinaikkan menjadi 30%, maka volumenya menjadi sebesar 250 juta ton. Sementara itu, kebutuhan batu bara dalam negeri saat ini hanya berkisar 180 juta ton hingga 190 juta ton. Lana Saria, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan kebutuhan nasional seharusnya bisa tercukupi jika setiap perusahaan batu bara memenuhi kewajiban DMO sebesar 25%. “Sehingga saat ini dengan 25% masih cukup apabila semuanya melaksanakan kewajibannya, terutama yang memenuhi spesifikasi, apakah untuk kebutuhan PLN maupun non-PLN,” ujar Lana. Konsumsi semen domestik selama kuartal I/2022 tercatat sebesar 17,12 juta ton atau naik 5,5% secara year-on-year (YoY). Pada bulan lalu, pertumbuhan konsumsi semen tertinggi terjadi di Sulawesi sebesar 10,5% menjadi 0,612 juta ton, menyusul kemudian Jawa yang tumbuh 4,6% menjadi 3,45 juta ton, Maluku dan Papua 2,1% menjadi 0,23 juta ton, dan Kalimantan 2% menjadi 0,43 juta ton. Sementara itu, wilayah yang mengalami penurunan konsumsi pada bulan lalu antara lain Sumatera yang turun 1% menjadi 1,55 juta ton, dan Bali-Nusa Tenggara anjlok 16,3% menjadi 0,32 juta ton. Secara kuartalan, konsumsi di Jawa naik 3,6%, Kalimantan tumbuh 5,6%, Sulawesi meningkat 20,2%, dan Maluku-Papua naik 8,6%. Di Sumatra terjadi penurunan tipis 1%.
Sumber: Bisnis Indonesia (20 April 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |