Soal strategi penyehatan fiskal, pemerintah perlu berhati-hati. Salah satunya adalah soal belanja negara yang kian cekak. Hal itu bisa berujung pada tersendatnya laju pertumbuhan ekonomi yang belakangan berada dalam tren positif. Pemerintah memang punya misi normalisasi defisit anggaran menjadi maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan. Upaya konsolidasi fiskal itu termaktub di dalam Undang-Undang No. 2/2020. Tak pelak, pemerintah pun dituntut untuk mengaselerasi penerimaan negara yang diiringi dengan penghematan belanja.Pekan lalu, pemerintah menetapkan target defisit anggaran di kisaran 2,81%—2,95% terhadap PDB, dengan target penerimaan negara Rp2.255,5 triliun—Rp2.382,6 triliun, serta belanja Rp2.818,1 triliun—Rp2.979,3 triliun. Apabila dihitung, pertumbuhan penerimaan pada tahun depan cukup ambisius, yakni 22%—29%, sedangkan kenaikan belanja negara tergolong cekak yakni di kisaran 3,82%—9,76% jika dibandingkan dengan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Persoalannya, anggaran belanja yang seret berisiko mengganggu skenario pertumbuhan ekonomi pada tahun depan yang dipatok 5,3%—5,9%. Apalagi, target itu telah dirumuskan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023 yang menjadi cikal bakal APBN. Sejumlah kalangan pun menyarankan pemangku kebijakan untuk lebih cermat dalam mengelola anggaran, sehingga misi normalisasi defisit tidak mengorbankan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani mengatakan pemerintah memang tidak bisa memiliki opsi lain untuk melonggarkan fiskal pada 2023 setelah sejak 2020 defisit terus melebar.
dapun, upaya untuk mendongkrak penerimaan negara juga menghadapi jalan terjal menyusul rapuhnya struktur penerimaan akibat tingginya ketergantungan pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan komoditas, serta ancaman lemahnya daya beli lantaran kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ajib menambahkan, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, implementasi pajak karbon, serta kenaikan tarif cukai hasil tembakau akan mendorong penerimaan negara pada tahun depan. Akan tetapi menurutnya, tidak mudah untuk bisa mengumpulkan penerimaan negara sesuai target, karena ada beberapa penerimaan negara yang cenderung tidak sustain. Antara lain, risiko pelemahan daya beli masyarakat hingga tingginya ketergantungan penerimaan pada harga komoditas. “Tidak mudah normalisasi defisit karena ada beberapa penerimaan negara yang cenderung tidak sustain, dan ini bermuara pada belanja yang makin dihemat,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (17/4). Ajib menilai, agar penerimaan negara relatif aman, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini wajib berada pada batas bawah 5%, sehingga ekonomi menemukan momentum untuk terus tumbuh pada tahun depan. “Ketika terjadi potensi shortfall penerimaan 2023, ada kemungkinan pemangkasan belanja negara, untuk membuat penyesuaian agar defisit tetap terjaga di bawah 3%,” ujarnya. Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani melihat banyak ketidakpastian kondisi saat ini untuk mencapai target defisit anggaran di bawah 3%. Menurutnya, hal tersebut salah satunya terlihat dari lonjakan harga minyak dan komoditas lain.
“Ketidakpastiannya tinggi, lihat dari harga minyak, mau enggak mau pemerintah harus melakukan penyesuaian-penyesuaian,” ujarnya. Dia mengatakan bahwa jika pemerintah ingin melakukan konsolidasi fiskal tersebut, konsekuensinya adalah pengetatan pengeluaran. Jika dicermati, konsolidasi fiskal telah ‘dicicil’ oleh pemerintah sejak tahun ini yang ditandai dengan implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid anyar itu diyakini mampu menggali penerimaan yang lebih dalam. Adapun dari sisi belanja, penghematan telah dilakukan sejak awal tahun. Hal itu tecermin dari tercatatnya surplus anggaran selama dua bulan pertama tahun ini. Normalisasi defisit juga berimplikasi pada tertahannya penarikan utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini pun telah dilakukan oleh pemerintah sejak pengujung tahun lalu yakni menahan emisi surat utang dengan memaksimalkan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Rendy Yusuf Manilet menuturkan, pertumbuhan belanja yang dirumuskan pada tahun depan terlampau rendah sehingga membawa konsekuensi yang berat. Menurutnya, penghematan ini akan memangkas efek berganda belanja terhadap pertumbuhan ekonomi. Yusuf menilai, pengiritan belanja bisa saja dilakukan sepanjang pemerintah telah berhasil menangani berbagai dinamika yang menggerus daya beli masyarakat. Terkait dengan optimalisasi penerimaan, Yusuf berpandangan masih cukup berat untuk tahun depan. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir, kenaikan setoran negara lebih disumbang oleh faktor windfall harga komoditas. “Kuncinya ada di penerimaan. Apabila penerimaan bagus maka penghematan belanja bisa saja tidak dilakukan,” katanya. Setali tiga uang, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai kebijakan menghemat belanja akan menekan daya beli masyarakat. Terlebih, alokasi yang dipangkas berasal dari perlindungan sosial. Jika ditengok, alokasi perlindungan sosial dalam APBN 2022 mencapai Rp431,5 triliun, sedangkan pada tahun depan dipangkas menjadi Rp349 triliun—Rp332 triliun. “Jika kenaikan harga kebutuhan pokok dan energi bersifat persisten hingga 2023, sebaiknya anggaran perlindungan sosial dinaikkan kembali,” kata Bhima. Dia juga menyarankan agar pemerintah menunda berbagai proyek infrastruktur yang tidak mendesak dan dialihkan untuk mendorong penguatan daya beli masyarakat. Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa APBN 2023 tetap diposisikan sebagai pendukung utama pemulihan ekonomi melalui berbagai program pembangunan nasional. Menkeu menambahkan, postur anggaran 2023 masih cukup fleksibel dengan mengacu pada dinamika serta perkembangan ekonomi terkini. “Kita masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja, baik pusat maupun transfer ke daerah, dan juga estimasi penerimaan negara,” kata Menkeu.
Sumber: Bisnis Indonesia (18 April 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |