Emiten produsen minyak sawit mentah alias crude palm oil(CPO) dan turunannya harus memutar otak lebih keras guna merespons perubahan kebijakan pemerintah yang sangat dinamis. Jika tak responsif, momentum kenaikan harga CPO bakal sulit dioptimalkan untuk memacu kinerja korporasi. Pemerintah menerbitkan beleid anyar pungutan ekspor produk CPO dan turunannya pekan lalu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No.23/PMK.05/2022, batas atas pengenaan pungutan ekspor CPO direvisi naik dari maksimal US$1.000 per ton menjadi US$1.500 per ton. Dampaknya, tarif maksimum ekspor yang mulanya flatUS$175 per ton ketika harga CPO di atas US$1.000 per ton, akan bertambah secara progresif sampai menyentuh batas harga terbaru US$1.500 per ton. Adapun, besaran pungutan ekspor maksimum kini dipatok US$375 per ton. Merespons kebijakan itu, Direktur Utama PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT) Lucas Kurniawan mengatakan kenaikan pungutan tersebut dapat dipahami, karena hasil pungutan direncanakan akan digunakan untuk menyubsidi harga minyak goreng curah. Namun dia menilai, kenaikan tarif yang signifikan dan berlaku relatif singkat juga berpotensi menyebabkan koreksi harga beli tandan buah segar (TBS) dari petani secara signifikan pula. Pada 2021, sekitar 34,12% atau 434.123 ton TBS yang diolah ANJT berasal dari pembelian pihak ketiga.
“Kami masih mengevaluasi besaran koreksi terhadap harga jual CPO dan harga beli TBS,” kata Lucas kepada Bisnis, Sabtu (19/3). Menurutnya, sejak akhir 2021 ANJT menjual seluruh produk CPO yang diproduksi ke pasar dalam negeri guna mendukung pemenuhan pasokan domestik. Dia mengatakan perusahaan akan mengevaluasi kemungkinan penjualan ekspor setelah mempertimbangkan sejumlah faktor secara menyeluruh, termasuk faktor komersial. Emiten perkebunan dan pengolahan sawit, PT Mahkota Group Tbk. (MGRO) juga tengah mengantisipasi dampak kenaikan pungutan ekspor produk sawit lantaran volume ekspor perusahaan diperkirakan terimbas. Sekretaris Perusahaan Mahkota Group Elvi mengatakan nilai ekonomis antara harga ekspor dan harga lokal menjadi pertimbangan. Kendati demikian, Elvi mengatakan MGRO tetap mendukung kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang bisa berdampak pada kemajuan industri kelapa sawit nasional. Saat ini, sekitar 32% produk MGRO dijual ke pasar ekspor. Kenaikan pungutan CPO juga bakal berimbas terhadap peningkatan beban penjualan emiten. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR), misalnya, mengalami kenaikan beban bea keluar dan pungutan sebesar 475,1% secara tahunan dari Rp731 miliar pada 2020 menjadi Rp4,2 triliun.
Terkait dengan aturan Permendag No. 11/2022 tentang harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter, Corporate Affairs Director Sinar Mas Agribusiness and Food Harry Hanawi mengatakan Sinar Mas tetap mempertahankan produksi maksimal dari kapasitas agar ketersediaan minyak goreng curah mencukupi permintaan pasar. Sebanyak 500 ton minyak goreng curah mulai disalurkan SMAR ke distributor dan toko di Jawa Timur dan Jawa Barat serta akan diperluas ke daerah lain. Pada 2022, produsen minyak goreng Filma itu menganggarkan belanja modal sebesar Rp1,5 triliun yang dialokasikan untuk peremajaan kebun dan melanjutkan ekspansi bisnis biodiesel. Sinar Mas Agro juga menargetkan produksi kebun tumbuh sampai 5% dengan asumsi cuaca mendukung. Optimisme juga dikemukakan Corporate Secretary PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) Swasti Kartikaningtyas. Menurutnya, perseroan menargetkan produksi CPO pada 2022 naik 6% hingga 8% menjadi 566.265 ton. Adapun, target penjualan CPO perseroan diperkirakan mencapai Rp5,47 triliun.
Perihal tantangan yang dihadapi emiten CPO, Analis BRI Danareksa Sekuritas Andreas Kenny mengatakan kebijakan kenaikan pungutan ekspor yang diikuti dengan pencabutan domestic price obligation(DPO) Rp9.300 per kilogram CPO berpengaruh pada harga lelang lewat Kharisma Pemasaran Bersama (KPB). Andreas menghitung harga CPO KPB turun 3,6% dari Rp16.161 per kg menjadi Rp15.600 per kg. Saat ini, pungutan ekspor mencapai US$335 per ton karena mengacu pada harga referensi Maret 2022 sebesar US$1.432 per ton. Jika ditambah dengan bea keluar maksimal US$200 per ton, total biaya yang disiapkan eksportir sawit mencapai US$535 untuk setiap ton CPO yang diekspor. Dia menuturkan kendati ada dampak ke harga CPO KPB, tetapi kebijakan tersebut memastikan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) cukup untuk B30 dan subsidi minyak goreng curah yang bisa menelan biaya sampai Rp10 triliun tahun ini. “Jadi dengan efek yang relatif minor banyak masalah yang terselesaikan.”
Andreas memperkirakan kinerja emiten-emiten perkebunan sawit tetap positif, mengingat harga KPB masih konsisten di atas Rp15 juta per ton CPO. Kebijakan itu, katanya, lebih menguntungkan daripada domestic market obligation (DMO) dan DPO. BRI Danareksa Sekuritas masih menyematkan rekomendasi beli untuk sejumlah emiten perkebunan pilihannya yakni AALI dengan target harga Rp19.000, DSNG Rp900, SSMS Rp1.900, dan LSIP Rp2.000. Adapun, analis CGS-CIMB Ivy Ng dalam risetnya memperkirakan produsen minyak sawit perlu membayar tambahan pungutan ekspor sebesar US$160 per ton sejak berlakunya aturan baru. Dia menyatakan terdapat kenaikan 43% dengan harga referensi CPO Indonesia untuk Maret sebesar US$1.432 per ton. Ivy menilai pungutan ekspor yang tinggi akan menjadi sentimen negatif bagi produsen minyak sawit Indonesia dalam menikmati keuntungan optimal dari kenaikan harga CPO global. Namun, CGS-CIMB memperkirakan kenaikan ini tidak akan memengaruhi proyeksi pendapatan emiten perkebunan sawit pada kurun 2022—2024 dengan asumsi harga CPO bertahan di kisaran US$900—US$1.146 per ton. Di Bursa Malaysia, harga CPO kontrak Mei 2022 parkir di level US$1.373,52 per ton. Harga tersebut mengalami kenaikan 30,89% secara year-to-date. CPO sempat menyentuh level tertinggi US$1.690,93 per ton pada 9 Maret 2022.
Sumber : Bisnis Indonesia (21 Maret 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |