Penghentian ekspor amonium nitrat (AN) olehRusia,berpeluangmemberikandampakoleh Rusia, berpeluang memberikan dampak kepadakinerja PT Surya Esa PerkasaTbk. kepada kinerja PT Surya Esa Perkasa Tbk. (ESSA)dan produsen pupuk diIndonesia. (ESSA) dan produsen pupuk di Indonesia.
Di tengah meningkatnya tensi konflik dengan Ukraina, Rusia resmi melarang ekspor amonium nitrat (AN) sejak 2 Februari hingga 1 April 2022. Pelarangan tersebut dilakukan untuk menjamin pasokan bagi petani domestik. Gas amonia yang menjadi salah satu bahan utama dalam produksi AN telah mengalami kenaikan harga lebih dari lima kali lipat sejak Oktober 2020. Kenaikan harga gas amonia tersebut dapat berdampak pada harga AN. Melansir dari S&P Global, harga yang tinggi membuat petani mempertimbangkan kembali jenis tanaman yang ditanam, seperti kedelai karena membutuhkan lebih sedikit pupuk nitrogen. Sekadar informasi, amonium nitrat adalah salah satu dari dua sumber utama pupuk nitrogen, dengan sumber utama nitrogen lainnya berasal dari urea. “Permintaan tambahan telah muncul di pasar domestik untuk amonium nitrat dari produsen pertanian dan bisnis industri,” kata Kementerian Pertanian Rusia seperti dikutip dari S&P Global, Rabu (4/3). Tingginya permintaan pupuk nitrogen di Rusia salah satunya diakibatnya tibanya masa menabur benih ketika memasuki peralihan dari musim dingin ke musim semi. Rusia menjadi eksportir terbesar di dunia, sekitar dua per tiga dari 20 juta ton produksi amonium nitrat tahunan dunia. Sebagian besar AN digunakan dalam pupuk untuk meningkatkan hasil panen seperti jagung, kapas, dan gandum. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) memperkirakan total produksi pupuk nitrogen menjadi sekitar 190 juta ton pada 2022. Sementara itu, pupuk non-nitrogen juga dapat diproduksi dari asam fosfat dan kalium. FAO menempatkan produksi kedua zat tersebut masing-masing sebesar 64 juta ton dan 65 juta ton.
Adapun, berhentinya pasokan dari Rusia dan meningkatnya harga komoditas kimia itu, berpeluang memberikan dampak kepada Indonesia. Emiten bahan kimia, PT Surya Esa Perkasa Tbk. (ESSA) menjadi salah satu emiten yang berpeluang memanfaatkan momentum tersebut untuk meningkatkan produksi amonia. Dengan demikian hal tersebut dapat mendongkrak kinerja perseroan. Apalagi kinerja ESSA sepanjang semester I/2021 tercatat mengalami tekanan. Emiten produsen bahan kimia ini mencatatkan kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$10,72 juta, angka ini meningkat dari kerugian di periode semester I/2020 sebesar US$5,77 juta. Meski begitu, ESSA mampu membukukan pendapatan senilai US$138,93 juta, atau naik 45,04% dari pendapatan di periode yang sama di tahun lalu, yang hanya mencatatkan US$95,78 juta. Sebelumnya, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Vinod Laroya mengatakan bahwa harga amonia cenderung menguat sejak Januari 2021. Hal itu terdorong oleh hambatan pasokan dan sinyal awal pemulihan permintaan. “Ke depan, ESSA akan terus meningkatkan kinerjanya seiring dengan pemulihan harga dan permintaan di pasar global,” ujar Vinod. Menurut Vinod, pertumbuhan permintaan amonia bakal semakin pesat. Alasannya, perkiraan permintaan amonia saat ini belum mempertimbangkan perannya sebagai bahan bakar masa depan. Oleh karena itu, ESSA mengembangkan amonia biru pada fasilitas produksi perseroan sebagai alternatif energi rendah karbon. Inisiatif itu dijalankan oleh anak usaha ESSA, PT Panca Amara Utama (PAU). Pada 18 Maret 2021, PAU menandatangani MoU tentang Pengumpulan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon bersama dengan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation, Mitsubishi Corporation, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Adapun, kerja sama itu dimaksudkan untuk mengembangkan produksi amonia biru di Indonesia.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan kekurangan pasokan amonia yang menjadi bahan baku pupuk dan industri menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia. Berdasarkan data Trademap, impor pupuk dari Rusia ke Indonesia tercatat sebesar US$210 juta pada 2020, menduduki posisi kedua tertinggi setelah impor besi baja. Bagi sektor pertanian yang sudah menghadapi tantangan naiknya biaya distribusi sejak pertengahan 2021, berkurangnya pasokan bahan baku pupuk akan menambah beban biaya produksi. “Ini situasi yang cukup berisiko bagi stabilitas harga pangan sepanjang 2022. Pemerintah disarankan segera tambah alokasi subsidi pupuk karena pembelian pupuk non-subsidi apalagi impor tentu tidak terjangkau bagi para petani,” katanya.Di sisi lain kondisi itu, menurutnya bisa menjadi peluang untuk mendorong produksi amonia dalam negeri. Dia mengatakan, beberapa pelaku usaha sebaiknya manfaatkan momentum hilangnya pasokan dari Rusia untuk tingkatkan target produksi amonia. “Dilihat dari embargo negara barat terhadap Rusia, akan terjadi demand amonia yang naik tajam,” katanya. Selain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri, lanjut Bhima, BUMN pupuk juga perlu meningkatkan ekspor ke negara-negara yang suplai pupuknya berkurang. Sementara itu, Sekretaris Jenderal APPI Achmad Tossin Sutawikara mengatakan bahwa fenomena yang terjadi di Rusia, tidak memiliki dampak berarti terhadap industri pupuk di Indonesia. “Kita tidak impor amonia untuk bahan baku urea karena sudah dihasilkan sendiri dari pabrik yang ada,” kata Tossin kepada Bisnis, Jumat (4/3).
Sumber : Bisnis Indonesia (7 Maret 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |