Harga batu bara memang menggoda. Tren kenaikan yang terjadi belakangan ini, menjadi momentum bagi eksportir dan pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan si emas hitam. Kendati demikian, pemerintah juga diminta tetap cermat agar riuh harga batu bara di pasar ekspor tak berujung pada kembali seretnya pemenuhan kebutuhan domestik, khususnya untuk pembangkit listrik. Melihat data terkini, harga batu bara acuan (HBA) pada Februari 2022 menjadi yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Pada Februari 2022, HBA menembus US$188,38 per metrik ton, naik 18,85% dari bulan sebelumnya yang tercatat US$158,50 per metrik ton. Bahkan harga lebih tinggi tercatat di Bursa ICE Newcastle, di mana batu bara diperdagangkan pada level US$418,75 per metrik ton pada Sabtu (5/3). Harga tersebut menguat 48,75 poin atau 13,18% jika dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya. Jika dicermati, harga batu terus merangkak naik seiring dengan belum meredanya konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya, gangguan pasokan gas alam dan minyak dari Rusia dapat membuat penggunaan energi fosil lain seperti batu bara meningkat. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa tren kenaikan harga batu bara akan direspons pelaku usaha dengan optimalisasi produksi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang telah disetujui pemerintah. “Apalagi di Januari 2022 ekspor terhambat, sehingga perusahaan berupaya memaksimalkan produksi,” katanya kepada Bisnis, Minggu (6/3). Kendati demikian dia mewanti-wanti bahwa harga yang terbentuk saat ini bukanlah harga fundamental. Artinya, amat mungkin euforia yang terjadi hanya berlangsung sesaat. Dia pun meminta perusahaan tambang batu bara lebih cermat dalam merespons harga batu bara saat ini.
Hal senada disampaikan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif. Menurutnya, peningkatan harga batu bara kali ini sangat tidak biasa, sehingga pemerintah lebih berhati-hati dalam menyikapinya. Dia menerangkan, gejolak harga saat ini terjadi akibat kombinasi dari situasi yang terjadi di dunia, yakni pertama, meningkatnya kebutuhan energi pada musim dingin. Kedua, konflik antara Rusia dan Ukraina hingga menyebabkan terganggunya pasokan gas ke beberapa negara. Ketiga, kondisi penyebaran Covid-19 yang belum juga selesai. Keempat, tekanan kepada industri batu bara. Dia menuturkan bahwa Indonesia sebagai pengekspor batu bara akan mendapatkan penerimaan yang tinggi. “Namun, perlu menjaga ketat DMO [domestic market obligation] untuk PLN,” kata Irwandy. Menurutnya, pemerintah akan menjaga ketat penyaluran DMO untuk pembangkit listrik kebutuhan umum yang dijalankan oleh PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP). Adapun dalam aturan DMO, batu bara ditetapkan seharga US$70 per metrik ton, sedangkan harga khusus industri pupuk dan semen seharga US$90 per metrik ton. Pada tahun ini, pemerintah menetapkan target produksi batu bara sebesar sebesar 663 juta ton. Batu bara untuk kebutuhan domestik ditetapkan sebesar 165,7 juta ton, atau lebih besar ketimbang tahun sebelumnya dengan realisasi DMO 133 juta ton. Kementerian ESDM telah menetapkan sejumlah sanksi dan denda bagi perusahaan tambang pemegang izin yang tidak memenuhi DMO batu bara. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 13.k/HK.021/MEM.B/2022. Beberapa di antara seperti penghentian operasi, pelarangan izin ekspor, hingga pengenaan denda.
Saat dikonfirmasi, PT PLN (Persero) memastikan pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik milik perseroan masih aman. Rerata stok pembangkit listrik sudah berada di atas 15 hari operasi (HOP). Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa perubahan sistem kontrak menjadi jangka panjang telah berdampak pada ketersediaan dan kepastian pasokan untuk pembangkit listrik. Perseroan juga terus memonitor kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri secara digital yang terintegrasi dengan database Kementerian ESDM. Dia menjelaskan perubahan sistem kontrak berbasis digital yang dikelola saat ini telah mengantisipasi kondisi fluktuatif harga batu bara di pasar internasional. Perihal situasi saat ini, analis industri PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Ahmad Zuhdi mengatakan, dampak kenaikan harga batu bara yang terjadi saat ini akan dirasakan pemerintah dan perusahaan tambang. “Bakal ada impact ke pemerintah dari royalti, PNBP [Penerimaan Negara Bukan Pajak], karena dihitungnya dengan harga batu bara yang terjual,” katanya. Dia mengatakan bahwa batu bara merupakan komoditas yang paling tidak pasti, lantaran dunia saat ini masih berusaha pulih dari pandemi Covid-19. Ditambah lagi, adanya konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang membuat ketidakpastiannya semakin tinggi. Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa penguatan harga dan optimalisasi ekspor dapat berpengaruh pula pada penerimaan negara baik melalui royalti maupun PNBP. Menurutnya, PNBP 2021 pada subsektor mineral dan batu bara mencapai Rp75,15 triliun atau 192% dari targetDia pun optimistis sumbangan devisa bagi negara pada 2022 bisa melebihi target tahun lalu yakni Rp42,36 triliun Mamit memperkirakan kendati tekanan penggunaan energi bersih terus menguat, produksi batu bara akan tumbuh. Dia menilai optimalisasi produksi yang dilakukan akan mengerek pertambahan kebutuhan tenaga kerja. “Kenaikan harga batu bara ini juga memberikan multiplier effect bagi beberapa sektor di industri batu bara seperti industri alat berat dan transportasi baik itu di darat maupun di laut untuk penyewaan kapal,” katanya.
Sumber : Bisnis Indonesia (7 Maret 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |