Bisnis, JAKARTA — Emiten jasa kontraktor tambang, PT Delta Dunia Makmur Tbk. dan PT Petrosea Tbk. terus membidik kontrak baru di tengah langkah pemilik tambang untuk meningkatkan produksi saat harga komoditas mineral memanas. Strategi diversifikasi juga disiapkan untuk menangkap peluang anyar.
Delta Dunia Makmur mengumumkan bahwa anak perusahaannya, PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) melalui anak perusahaannya BUMA Australia Pty. Ltd., telah memperbarui kontrak jasa pertambangan dengan BHP Billiton dan Mitsubishi Alliance (BMA). Perpanjangan kontrak tersebut terkait operasi tambang Blackwater dengan perpanjangan operasi hingga Juni 2026. Blackwater merupakan tambang batu bara coking yang berlokasi di Blackwater, Queensland. Dari perpanjangan kontrak tersebut akan menambahkan sekitar 550 juta dolar Australia ke buku pesanan BUMA Australia. “Lebih lanjut langkah ini juga mendukung akuisisi perusahaan atas BUMA Australia,” tulis manajemen emiten berkode saham DOID itu melalui keterbukaan informasi, Selasa (22/2). Langkah ini juga mencerminkan keyakinan yang dimiliki BMA, sebagai produsen dan pemasok batu bara coking terbesar di Australia, dan peserta joint venturenya pada kemampuan BUMA Australia untuk mengoperasikan proyek-proyek pertambangan yang besar dan kompleks. “Produksi tahunan rata-rata dari proyek ini sekitar 36 juta bcm lapisan tanah penutup. Untuk lebih memperkuat bisnisnya, BUMA Australia akan terus melakukan diskusi dengan pelanggan potensial dan baru untuk kontrak baru,” imbuh manajemen. DOID menyebutkan pembaruan dan upaya berkelanjutan untuk tumbuh di Australia ini semakin memvalidasi komitmen perusahaan di Australia dan menegaskan akuisisi bisnis Australia oleh perusahaan melalui BUMA. Pada perkembangan lain, emiten kontraktor tambang Grup Indika, Petrosea melakukan diversifikasi bisnis dan terjun ke ranah proyek mineral memasuki usianya ke-50. Langkah itu merupakan bagian dari implementasi strategi diversifi kasi, digitalisasi, dan dekarbonisasi.
Hanifa Indradjaya, Presiden Direktur Petrosea, mengungkapkan strategi diversifikasi ditempuh emiten berkode saham PTRO itu dengan menandatangani berbagai perjanjian kerja sama pekerjaan kontraktor tambang bauksit dan emas melalui penyediaan jasa pertambangan dan rekayasa, pengadaan dan konstruksi (EPC) secara berkelanjutan di Indonesia. Pada 2021, perusahaan juga telah menambah kegiatan usahanya di bidang digitalisasi, 3D printing& rebuild center dan lembaga pelatihan kerja dan sertifikasi agar siap menghadapi berbagai tantangan persaingan usaha dan meraih setiap peluang usaha baru dengan memanfaatkan teknologi digital yang terus berkembang dengan pesat belakangan ini. “Strategi 3D Petrosea, yaitu Diversifikasi, Digitalisasi, dan Dekarbonisasi telah menjadi enabler bagi kami untuk terus mengembangkan nilai bagi seluruh pemangku kepentingan serta memastikan sustainablesuperior performance di masa mendatang,” ujar Hanifa dalam keterangan resmi, Selasa (22/2). Petrosea juga terus melanjutkan transformasi secara menyeluruh dengan membangun organisasi yang lebih gesit dan mengembangkan model bisnis terbarukan agar dapat bertahan di masa mendatang. Ke depannya, Petrosea akan terus memanfaatkan teknologi terkini melalui Minerva Digital Platform yang terbukti telah dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi kegiatan operasionalnya, serta mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Berdasarkan catatan Bisnis, PTRO menganggarkan belanja modal atau capital expenditure mencapai US$138 juta atau setara Rp1,97 triliun (kurs Rp14.300) pada 2022. Mayoritas dana dipakai pengembangan kapasitas. Direktur Keuangan Petrosea Romi Novan Indrawan memerinci 40% dari total dana tersebut dipakai mempertahankan kapasitas yang ada saat ini. “Dari belanja modal US$138 juta, 60% untuk penambahan kapasitas,” urainya dalam paparan publik. Lebih lanjut, dari total belanja modal tersebut alokasi tertinggi untuk tiga proyek utama, yakni proyek tambang Kideco Jaya Agung, Freeport Indonesia, dan Karya Bhumi Lestari mencapai US$70 juta.
Di lantai bursa, indeks IDX Sector Energy telah menguat 12,9% sepanjang tahun berjalan 2022. Kinerja indeks tersebut mengungguli IDX Sector Basic Materials yang tercatat naik 2,6% secara year-to-date (YtD). Penguatan IDX Energy tak terlepas dari penguatan harga saham BYAN 33,33% YtD ke level Rp36.000, ADMR 1.045% ke level Rp1.045, INDY 33,33% ke level Rp2.060, dan PTBA naik 8,49% YtD ke level Rp2.940 pada akhir perdagangan Selasa (22/2). Dalam risetnya, analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan mengatakan harga batu bara diperkirakan bertahan di level tinggi pada 2022. Salah satu katalisnya datang dari Pemerintah China yang menetapkan plafon harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rerata harga batu bara pada 2021 “Kami menilai valuasi penambang batu bara saat ini tidak dapat dipungkiri cukup murah dan kami harapkan mereka dapat menghasilkan laba yang kuat pada 2021 dan 2022,” tulisnya dalam riset, Selasa (22/2). Pada 2022, rerata harga batu bara diperkirakan stabil di kisaran US$130 per ton. Di sektor pertambangan batu bara, BRI Danareksa Sekuritas menyukai perusahaan yang memiliki yield dividen tinggi sehingga pilihan jangka pendek jatuh kepada ITMG dan PTBA. Namun, lanjut Hasan, emiten tambang batu bara yang memiliki upaya serius untuk mendiversifikasi bisnisnya seperti ADRO dan HRUM menjadi pilihan untuk jangka panjang.
Dalam riset terpisah, analis BRI Danareksa Sekuritas Ignatius Teguh Prayoga dan Hasan Barakwan menuturkan DOID menghadapkan performa keuangan yang lebih baik dan raihan kas yang meningkat pada 2022 sejalan dengan ekspansi jasa pertambangan yang akan berdampak terhadap laba. Teguh dan Hasan juga menyoroti raihan kontrak DOID dari dua perusahaan tambang besar, yakni ADRO dengan volume 90 juta bank cubic meter (bcm) per tahun dan BYAN sebanyak 70 juta bcm per tahun. Dengan rerata volume overburden removal 350 juta bcm, total kontrak baru tersebut dapat ditranslasikan menjadi tambahan volume DOID sekitar 46%. “DOID mengharapkan volume tumbuh 20%—30% pada 2022 hanya dari pipeline pekerjaan di Indonesia,” imbuhnya. Langkah akuisisi yang ditempuh emiten yang terafiliasi dengan Northstar Group itu juga ikut disoroti. Menurutnya, akuisisi Downer dan Asia Met bakal memperluas jangkauan DOID di pasar global. Hariyanto Wijaya, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menambahkan sentimen geopolitik Rusia dan Ukraina berisiko membuat komoditas logam seperti nikel mengalami lonjakan harga. Di sisi lain, kekhawatiran pasar terhadap langkah agresif The Fed mengerek suku bunga dan memperketat kebijakan moneter juga membayangi gerak pasar saham global. “Kami menilai ANTM dan INCO akan menjadi saham yang bagus untuk memonetisasi tensi Rusia dan Ukraina. Harga CPO juga terus naik karena kekhawatiran mengetatnya pasokan minyak nabati di pasar internasional,” tu-lisnya dalam riset, Selasa (22/2).
Sumber : Bisnis Indonesia (23 Februari 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |