Kebijakan domesticmarketobligation (DMO) memunculkan kekhawatiran di kalangan petani sawit, namun memacu saham emiten perkebunan yang terkerek harga minyak sawit mentah (CPO) global.
Keputusan pemerintah menerapkan aturan kewajiban pasar domestik (DMO) untuk produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan tersebut dikhawatirkan menjegal harga tandan buah segar (TBS) di kalangan petani yang mendominasi industri sawit dalam negeri. Dalam beberapa hari belakangan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencatat harga tandan buah segar (TBS) di 16 provinsi merosot hingga maksimal 27,5%. “Itu kan [aturan DMO] hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja. Tetapi di sisi lain kami, sebagai petani kelapa sawit dikorbankan,” kata Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung, dilansir dari Antara, Senin (31/1). Di sisi lain, pembatasan ekspor melalui mekanisme DMO membuat harga minyak sawit mentah global dalam sepekan terakhir terkerek. Imbasnya pun bisa ditebak. Harga saham-saham emiten sawit ngacir pada perdagangan sepekan terakhir, dipacu ekspektasi investor terhadap penguatan pemasukan emiten dari sisi ekspor. Berdasarkan pantauan Bisnis terhadap pergerakan tujuh emiten sawit dengan likuiditas pasar relatif solid sepanjang sepekan terakhir, rata-rata mengalami penguatan. Meski pada perdagangan kemarin (2/2) emiten ini berbalik konsolidasi ke zona merah. Saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) menjadi yang paling nyaring, dengan penguatan ytd 14,92% ke level Rp570 per saham. Harga ini merosot 5% secara harian (2/2). Meski demikian sepekan terakhir meloncat 10,68% Disusul oleh emiten milik TP Rachmat, PT Triputra Agro Tbk. (TAPG) yang ditransaksikan investor seharga Rp690 per saham pada penutupan kemarin atau melemah 0,72%. Level ini merepresentasikan kenaikan 15% dalam sepekan terakhir.
Sebelumnya, baik TAPG maupun DSNG memang telah menyatakan komitmen untuk mengikuti kebijakan pemerintah terkait pembatasan ekspor. “Perseroan bersama industri hulu ddan hilir lainnya mendukung penuh pengadaan minyak goreng dengan harga terjangkau yang telah diputuskan pemerintah,” kata Sekretaris Perusahaan TAPG Joni Tjeng. TAPG, agaknya, memang tidak akan disulitkan oleh aturan DMO ini. Bila menga-cu laporan keuangan terakhir, sepanjang 9 bulan awal 2021 mereka memang telah seluruh produk sawitnya ke perusahaan eksportir maupun distributor yang seluruhnya berkedu-dukan di Indonesia.Artinya, mereka tidak mengekspor produk CPOnya secara mandiri, sehingga tidak perlu melakukan banyak penyesuaian. Total perseroan membukukan penjualan Rp4,45 triliun sepanjang 9 bulan awal 2021, yang mayoritas (Rp4,37 triliun) merupakan produk penjualan minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit. Beberapa klien dengan proporsi pejualan di atas 10% di antaranya adalah PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Sinar Alam Permai, PT Energi Unggul Persada, PT Kutai Refinery Nusantara, dan PT LDC East Indonesia. Penjualan kepada lima perusahaan ini berkontribusi terhadap Rp3,38 triliun atau setara 77,3% pendapatan konsolidasian perseroan. Di sisi lain, DSNG memang tidak seperti TAPG yang menjual hampir seluruh produknya ke perusahaan lokal. Namun, porsi ekspor perusahaan ini juga jauh melebihi batas aman regulasi DMO. Berdasarkan laporan keuangan 9 bulan awal 2021, perusahaan ini membukukan penjualan total Rp5,05 triliun. Porsi penjualan lokal masih dominan yakni Rp4,12 triliun (81,65%) dan porsi ekspor Rp927,12 miliar (hanya 8,35%). Adapun penjualan lokal perseroan di atas 10% didominasi penjualan kepada PT Sinarmas Agro Tbk. (SMAR), PT Wilmar Nabati Indonesia, dan PT Kutai Refinery Nusantara. Sebagai informasi, mengacu pernyataan Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi , aturan DMO penjualan lokal diwajibkan sebesar minimal 20% dari total produksi masing-masing perusahaan. Penjualan pun diwajibkan dilakukan dengan harga Rp9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp10.300 per kilogram untuk RBD Palm Olein.
Regulasi ini ditetapkan Kementerian Perdagangan dalam rangka menyikapi lonjakan harga minyak goreng yang sempat terjadi belum lama ini. “Eksportir harus mengalokasikan 20 persen dari volume ekspor CPO dan RBD Palm Olein dengan harga DPO [domesticpriceobligation] kepada produsen minyak goren untuk mencapai Harga Eceran Tertinggi [HET] yang telah ditetapkan,” jelas Luthfi dalam pernyataan resminya. Akan tetapi, kepada pihak petani yang merasa aturan ini meresahkan lantaran bisa menekan harga TBS, Luthfimemberikan klarifikasi. Kata Luthfi , sebenarnya pemberlakuan harga DPO di atas cuma berlaku khusus untuk harga jual para eksportir dalam rangka penyesuaian untuk penerapan DMO. Artinya, pelaku usaha sawit mestinya tidak membeli TBS di level petani menggunakan regulasi ini. Penggunaan DPO sebagai dalih membeli dengan harga rendah di level petani, menurut Luthfi , merupakan sesuatu yang meresahkan. “Kebijakan DMO dan DPO tersebut disalahartikan oleh beberapa pelaku usaha sawit, yang seharusnya [tetap] membeli CPO melalui mekanisme lelang yang dikelola KPBN dengan harga lelang. Namun, mereka melakukan penawaran [justru] dengan harga DPO,” kata Luthfi dalam klarifikasinya hari ini.Oleh karenanya, Luthfi menekankan agar tidak ada lagi salah tafsir di kalangan pengusaha yang sempat khawatir akan terjadi “kiamat” harga TBS dalam waktu dekat. “Kebijakan DMO dan DPO tidak boleh merugikan petani kelapa sawit,” tandas Luthfi .
Sumber : Bisnis Indonesia (3 Januari 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |