Prospek Emiten Mamin Masih Cerah

Rabu, 26 Jan 2022

Bisnis, JAKARTA — IDX Barang Konsumen Primer atau Consumer Non-Cyclicals diyakini masih berpeluang untuk positif pada tahun ini seiring dengan optimisme pemulihan ekonomi dan membaiknya inflasi. Penundaan implementasi cukai plastik dan minuman kemasan berpemanis menambah sentimen untuk emiten makanan dan minuman atau mamin berbalik arah.

Equity  Research  Analyst  Kiwoom  Sekuritas  Indonesia  Abdul  Azis  Setyo  Wibowo  memperkirakan  ada  sentimen positif  yang mendorong kinerja indeks tersebut pada  tahun  ini.  “Kami melihat IDX Sector Consumer Non-Cyclicals pada tahun ini masih  ada  peluang  mencatatkan  kinerja positif didorong pemulihan ekonomi  dan  membaiknya  inflasi,” ungkap Abdul kepada Bisnis, Selasa  (25/1).  Sementara  itu,  pemerintah  melalui  Ditjen  Bea  dan  Cukai  Kementerian  Keuangan  masih  memperhatikan  perkembangan  kondisi ekonomi pada 2022 terkait implementasi  cukai  plastik  dan  minuman  kemasan  berpemanis.  Namun,  Ditjen  Bea  dan  cukai  juga  menambahkan  jika  momen  belum tepat bisa juga disesuaikan implementsinya  pada  2023. Abdul menilai jika terjadi penundaan implementasi cukai tersebut pada tahun ini maka hal tersebut bisa menjadi sentimen positif bagi emiten  makanan  dan  minuman  (mamin) yang masuk dalam indeks sektor  barang  konsumen  primer. “Untuk emiten mamin memang akan  menjadi  sentimen  positif  [penundaan cukai plastik] karena beban dari perusahaan tidak jadi naik,”  kata  Abdul.  Namun,  lanjutnya,  hal  tersebut juga perlu diwaspadai karena jika  ekonomi  telah  pulih,  maka  kenaikan  cukai  bisa  saja  terjadi.  Berdasarkan sentimen tersebut, PT Kiwoom Sekuritas Indonesia merekomendasikan INDF, ICBP, AALI, dan LSIP karena secara valuasi saham, emiten-emiten tersebut masih murah. Sementara  itu,  Head  of  Investment  Research  Infovesta  Utama  Wawan  Hendrayana  menilai  penundaan  cukai  plastik  akan  menjadi  katalis  positif  bagi  emiten yang memang menggunakan plastik  yang  banyak  digunakan  oleh  emiten  mamin.  Menurutnya,  penerapan  cukai  oleh pemerintah adalah pungutan untuk  mengontrol  sesuatu,  sehingga  makin  tinggi  cukai  akan  berdampak pada penjualan produk. “Beberapa  industri  pasti  akan  terdampak  tapi  saya  rasa  tidak  semuanya  tergantung  seberapa  besar eksposur dia terhadap peng-gunaan plastik ini,” jelas Wawan kepada Bisnis,  Selasa  (25/1).

Di  sisi  lain,  dia  mengestimasi  pemulihan  ekonomi  pada  tahun  ini  bisa  mendekati  masa  sebelum  pandemi  Covid-19  sehingga  kebutuhan  atas  barang-barang  akan  naik  yang  membuat  IDX  Sector  Consumer  Non-Cyclicals  alias  sektor  barang  konsumen  primer juga akan terdorong naik. “Sebenarnya prospeknya bagus untuk  sektor  tersebut,  sepanjang  aktivitas  masyarakat  bisa  pulih  mendekati  sebelum  pandemi  ya  pasti kebutuhan atas barang-barang itu  akan  naik,”  katanya. Wawan  pun  memaparkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi pada 2022 cukup tinggi dengan kenaikan di sekitar  5%.  Adapun  pada  awal  tahun  ini,  salah  satu  pendukung  ekspektasi pemulihan ekonomi ini adalah tingginya harga batu bara. Dia  menjelaskan  ketika  harga  batu bara naik biasanya pemerintah akan memiliki pasokan uang yang  kemudian  bisa  digunakan  untuk  belanja  modal.  Hal  tersebut,  lanjutnya,  menyebabkan  peredaran  uang  di  masyarakat  meningkat  dan  seharusnya  berimbas  positif  pada  sektor konsumsi termasuk barang konsumen  primer.  Namun,  dengan  adanya peningkatan  kasus  harian  Covid-19 beberapa waktu ini, sentimen  tersebut  ungkapnya  bisa  menjadi  faktor  penekan  kinerja  IDX Consumer Non-Cyclicals dan hal ini sudah mulai terasa di awal Januari. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (25/1) menunjukkan indeks tersebut  masih  terkoreksi  1,37%  sepanjang  tahun  berjalan  atau  year-to-date (YtD). Wawan  menilai  pelemahan  indeks tersebut juga beriringan dengan rata-rata indeks lainnya yang juga terkoreksi karena walaupun sentimen ekspektasi yang kuat di awal tahun mengenai pertumbuhan  ekonomi,  tetapi  menghadapi  dua  faktor  penekan  utama.  Pertama, lanjutnya, adalah sentimen  negatif  dari  sisi  kesehatan  yang menjadi kekhawatiran investor di domestik karena ada potensi  kenaikan  level  pemberlakuan  pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sentimen  negatif  yang  kedua,  imbuh  Wawan,  merupakan  isu  global yakni adanya kemungkinan percepatan kenaikan suku bunga di  Amerika  Serikat.

Analis  masih  belum  merekomendasikan saham emiten barang konsumen  pada  awal  tahun  ini.  Pasalnya,  kinerja  emiten  barang  konsumen masih dibayang-bayangi oleh harga bahan baku yang tinggi. Analis  BRI  Danareksa  Sekuritas  Natalia  Sutanto  menjelaskan  perusahaan  barang  konsumen  cenderung  menaikkan harga jual rata-rata atau average  selling  price  (ASP)  di  tengah  kenaikan  harga  bahan  baku untuk menjaga marjin laba bersih. Misalnya PT Mayora Indah Tbk. yang telah mengerek ASP sebesar 5% hingga 8% untuk berbagai produk SKU (stock keeping  unit).  Adapun,  dampak  dari kenaikan ASP itu baru akan terlihat pada kuartal I/2022 dengan marjin laba diperkirakan tertekan pada  kuartal  IV/2021.  Sementara  itu,  penjualan  emiten  dengan  kode  saham  MYOR  tersebut  terpantau  naik  14%  di  sepanjang  2021  ditopang  oleh  penjualan  domestik  dan  ekspor  menyusul  pembukaan  kembali  perekonomian. “Kontribusi pasar ekspor sebesar 40% hingga 45% telah membantu perseroan  untuk  mengamankan  bahan baku dari pasar internasional. Perseroan menyatakan bahwa harga bahan baku utama [kecuali CPO  dan  susu]  agak  menurun  dalam  beberapa  bulan  terakhir,”  tulis  Natalia  dalam  riset  terbaru,  dikutip  Selasa  (25/1). Natalia pun memperkirakan kinerja  MYOR  bisa  kembali  solid  pada Maret hingga April 2022 atau bertepatan  dengan  momentum  Lebaran  2022.  Pada  tahun  ini,  MYOR  membidik  pertumbuhan  pendapatan  sebesar  10%  dengan  fokus  menjaga  marjin. Namun, perkembangan pandemi serta  isu  mengenai  ketersediaan  pengiriman barang masih menjadi perhatian  perseroan  yang  dapat  menghambat  laju  pertumbuhan  tahun  ini.BRI Danareksa Sekuritas memperkirakan MYOR dapat membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar  13,9%  tahun  ini  dengan  pertumbuhan laba yang lebih rendah  sebesar  7%. Dengan demikian, saham MYOR masih  diberi  rekomendasi  jual  dengan  target  harga  Rp2.000.  Adapun,  pergerakan  harga  saham  MYOR  juga  akan  dipengaruhi oleh rilis laporan keuangan tahunan  dalam  waktu dekat.

 

Sumber : Bisnis Indonesia (26 Januari 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)