JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) merilis desain pajak pertambahan nilai (PPN) progresif. Hal ini bertujuan mengatasi masalah kebijakan PPN sejumlah negara yang selama ini dinilai mengalami kemunduran. Dalam publikasi berjudul Designing a Progressive VAT April 2024, IMF memberikan tiga alternatif desain penerapan PPN progresif. Pertama, simple cut-off threshold. Skema ini melihat kondisi rumah tangga dengan pendapatan di bawah ambang batas tertentu tidak akan menanggung PPN apa pun, tanpa memperhatikan apa yang mereka konsumsi. Ambang batas diperoleh dari median pendapatan dari suatu populasi. Kedua, universal subsidy value added tax (VAT). Melalui desain ini, seluruh konsumen menerima kompensasi PPN setara jumlah PPN yang telah dibayarkan, tanpa memperhatikan apa yang mereka konsumsi. Namun tetap tidak di atas ambang batas. Ketiga, negative VAT. Dalam hal ini, seluruh konsumen menerima subsidi PPN sesuai jumlah ambang batas, dengan memperhatikan tingkat pendapatan dan apa yang mereka konsumsi. IMF mengklaim, alternatif PPN progresif dapat memberikan potensi keuntungan seperti efisiensi, netralitas, peningkatan pendapatan serta peningkatan kepatuhan. Tak hanya itu, PPN progresif disebut akan menghilangkan regresivitas PPN secara efektif melalui sistem pajak dengan meminimalkan masalah politik ekonomi, arus kas dan biaya psikologis.
Indonesia saat ini berencana menerapkan tarif PPN yang lebih tinggi, yakni 12%. Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN 12% paling telat berlaku pada 1 Januari 2025. Namun hingga kini pemerintah belum juga menjelaskan rencana kebijakan tersebut. Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, di satu sisi, skema PPN progresif akan menggendutkan penerimaan pajak. Pemerintah bisa meraup penerimaan lebih tinggi lantaran sejumlah barang kena PPN. Misalnya jasa pendidikan yang selama ini dikecualikan. Melalui PPN progresif, jasa pendidikan berpotensi dipungut PPN. "Sekolah dengan bayaran lebih kecil misalkan, akan mendapat tarif nol atau tarif rendah. Sekolah dengan bayaran puluhan hingga ratusan juta akan kena tarif paling tinggi," kata dia, kemarin. Di sisi lain, PPN progresif bisa membebani masyarakat. Pasalnya, jasa pendidikan yang selama ini dikecualikan malah kena pajak. Ini bisa menekan masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah. Dus, ia melihat implementasi dan pengawasan PPN progresif akan sulit. "PPN dengan tarif progresif belum siap diberlakukan di Indonesia," ucap Huda.
Sumber : Kontan 14 Mei 2024
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |