Melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon guna memperlambat pemanasan global menuju net zero emission (netralitas karbon) sesuai Kesepakatan Paris, 2015.
Guna mempercepat capaian tersebut, PLN sebagai BUMN strategis di bidang energi kelistrikan telah mengambil kebijakan mengurangi peran PLTU secara bertahap. Sesuai dokumen Strategi PLN Menuju Carbon Neutral 2060, tidak ada lagi pembangunan PLTU setelah 2025, kecuali yang sudah masuk fase konstruksi (financial closing).
Seiring rencana itu, PLN akan memensiunkan PLTU secara total pada tahun 2060 sebagai skenario paling panjang dan paling memungkinkan. Dua skenario lainnya adalah 2045 dengan target paling optimum namun tetap dimungkinkan, serta skenario 2050 sebagai target moderat menuju Net Zero Emission.
Semua skenario ini menggambarkan transformasi batubara menuju energi baru terbarukan (EBT) yang akan dilakukan PLN melalui tahap transisi, riset dan inovasi, serta implementasi.
Pada tahap transisi 2021-2030, upaya untuk mengurangi emisi karbon dan menekan energi fosil dengan melakukan konversi pembangkit diesel di daerah-daerah terpencil yang bersumber dari energi bersih yang ada di lokasi-lokasi pembangkit. Mengembangkan teknologi zero carbon emission dalam bentuk inovasi Co-Firing dengan target fuel mix 23% EBT di tahun 2025. Sehingga langkah ini juga bisa menambah pekerjaan dan pendapatan masyarakat disekitarnya.
Pada tahap riset dan inovasi, 2030-2040, PLN fokus pada pengembangan dan adopsi teknologi storage baik konvensional seperti PLTA pumped storage dan PLTS maupun PLTB yang dikombinasikan teknologi baterai mutakhir sebagai media simpan berskala besar. Dibarengi pemanfaatan teknologi fuel cell yang dikombinasikan dengan hidrogen. Langkah ini untuk menggantikan pembangkit berbasis fosil seperti PLTG/U berteknologi lama meliputi PLTU Sub-Critical tahap pertama sebesar 1 GW pada 2030, PLTU SubCritical tahap kedua sebesar 9 GW pada 2035, dan PLTU Super-Critical sebesar 10 GW pada tahun 2035.
Pada tahap implementasi, 2045-2056, ketika teknologi EBT dan storage semakin maju dan murah serta berkembangnya teknologi smart grid, dan memungkinkan energi EBT makin besar masuk dalam Sistem, PLN akan memberhentikan PLTU Ultra SuperCritical tahap pertama sebesar 24 GW pada 2045, dan PLTU Super-Critical terakhir sebesar 5 GW secara bertahap. PLN juga akan menggerakkan pemanfaatan energi bersih di sektor hilir, terutama di sektor transportasi dengan menyiapkan ekosistem perubahan moda transportasi dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik.
Inilah skenario yang dibuat PLN menyikapi komitmen di sektor kelistrikan menuju emisi nol yang perlu dukungan pemerintah. Sebagai entitas bisnis yang saat ini sebagian besar sumber energinya masih menggantungkan pada batubara, jelas PLN tidak bisa lepas dari perubahan global yang menghendaki transisi energi bersih. Namun sebagai korporasi, PLN juga harus memperhitungkan persyaratan keekonomian dalam menghitung beban biaya produksi (BPP) maupun penerapan inovasi teknologi, utamanya baterai yang lebih kompetitif ke depan.
Tantangan hilirisasi
Melihat skenario dan perubahan pasar energi global yang menghendaki eliminasi batubara pada 2050 (IEA, 2021), bagi negara seperti Indonesia, pertanyaannya bagaimana kelangsungan batubara ke depannya. Sebagai negara penghasil batubara yang melimpah dan terbesar keenam dunia, tentu transformasi dan hilirisasi batubara menjadi jalan keluar yang penting. Apalagi kontribusi finansial batubara pada penerimaan negara bukan pajak (PNPB) masih signifikan mencapai Rp 34,6 triliun pada 2020, dimana batubara menyumbang sekitar 85% dari mineral lainnya.
Maka arahan Presiden Jokowi pada rapat terbatas tentang percepatan nilai tambah batubara di Istana Bogor 23 Oktober 2020, menjadi strategi penting agar proses hilirisasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) dan metanol agar dipercepat sebagai upaya mengurangi impor LPG. Hilirisasi adalah salah satu cara meningkatkan nilai tambah batubara karena sebelumnya selalu diekspor dalam bentuk raw material. Hilirisasi batubara ini biasa dikenal sebagai program gasifikasi batubara, yang sudah masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN).
DME diproduksi untuk menggantikan posisi LPG, yang 75 persen dari total konsumsi nasional masih harus impor. Sementara mayoritas batubara Indonesia adalah jenis kalori sedang dan rendah, jenis yang paling pas untuk diproses sebagai DME dan metanol. Hilirisasi batubara menjadi DME dan metanol adalah salah satu opsi agar bisnis batubara tetap bisa dilanjutkan.
Metanol sendiri bisa disalurkan pada industri biodiesel dan spiritus. Langkah konkret hilirisasi batubara telah dimulai oleh PT Bukit Asam (Persero) dan Pertamina (Persero), dengan melibatkan Air Product & Chemical Inc, mengerjakan proyek gasifikasi batubara menjadi DME. Air Product adalah perusahaan dari AS yang memiliki hak paten proses gasifikasi. Lokasi proyek direncanakan di Tanjung Enim (Sumsel), mampu menyerap enam juta ton batubara, dan diperkirakan bakal menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun.
Proyek yang ditargetkan siap operasional pada tahun 2024, merupakan bagian dari upaya pemerintah menurunkan emisi karbon. Sebagai BUMN yang mengelola batubara skala besar, Bukit Asam juga akan membangun pabrik karbon aktif, sebagai bagian dari peta jalan hilirisasi batubara. Pabrik yang berkapasitas 60.000 ton batubara berpotensi menghasilkan 12.000 ton karbon aktif (Kontan.co.id, 17/1/2021).
Karbon aktif ini dapat dimanfaatkan bagi penjernihan air, pemurnian gas dan udara, filter industri makanan, hingga penggunaan di bidang industri farmasi sebagai penetral limbah obat-obat agar tidak membahayakan lingkungan. Maka sejalan dengan skenario PLN menuju Carbon Neutral 2060, dimana permintaan batubara akan turun, masih ada waktu sekitar dua-tiga dekade lagi untuk memanfaatkan batubara. Pada saat yang sama program hilirisasi dijalankan dengan memanfaatkan inovasi dan teknologi yang terus berkembang.
Inilah langkah penting menimbang prospek batubara secara global dan komitmen penurunan emisi karbon dengan percepatan hilirisasi dan memonetisasi batubara. Upaya percepatan hilirisasi ini tentu memerlukan dukungan regulasi dan insentif pemerintah sebagaimana diatur dalam PP No. 25 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral untuk hilirisasi di dalam negeri. Mengingat investasi dalam hilirisasi bersifat jangka panjang, dan pemanfaatan DME bisa memberi keuntungan berupa penurunan subsidi LPG bagi pemerintah.
Sumber: Kontan (30 Juni 2021)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |