JAKARTA. Jumlah emiten baru yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini memang tokcer. Bahkan, telah mencapai rekor terbanyak, yakni 79 emiten baru. Tapi nyatanya, tak semuanya punya prospek bagus. Memang belakangan, BEI mendorong perusahaan dengan aset kecil dan menengah untuk melakukan initial public offering (IPO). Namun nyatanya, saham emiten menengahkecil yang sahamnya dicatatkan di papan akselerasi ini banyak yang mangkrak, bahkan ambles. Catatan KONTAN, dari 79 emiten baru yang listing di BEI tahun ini, ada 14 emiten saham yang berkubang di kisaran Rp 50-an per saham. Lalu, sembilan emiten harganya di bawah gocap (lihat tabel). Berbeda dari papan lainnya, untuk emiten yang berada di papan akselerasi, memang dapat ditransaksikan dengan harga terendah Rp 1. Saham PT Lavender Bina Cendikia Tbk (BMBL) menjadi saham IPO tahun 2023 yang paling boncos, dengan penurunan harga hingga 90,43% dari harga IPO. Emiten jasa bimbingan akademik ini mulanya memasang harga IPO di harga Rp 188 per saham. Tapi per Selasa (12/12) harganya tersisa Rp 18 per saham. Produsen makanan bayi, PT Hassana Boga Sejahtera Tbk (NAYZ) juga sahamnya ambles 85% dari Rp 100 menjadi Rp 15. Kemudian ada saham PT Mitra Tirta Buwana Tbk (SOUL) dan PT Menn Teknologi Indonesia Tbk (MENN) masing-masing anjlok 80,91% dan 80,77% dari harga IPO.
Muhammad Nafan Aji Gusta, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia mengatakan, secara garis besar ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan harga saham-saham IPO tersebut. Pertama, penurunan kinerja keuangan emiten. Jika ditelisik, beberapa emiten yang sahamnya anjlok itu mencatatkan penurunan kinerja keuangan, bahkan kerugian. Ambil contoh, BMBL membukukan pendapatan Rp 12,15 miliar per akhir kuartal III-2023. Angka itu cuman naik tipis 1,87% secara tahunan atau year on year (yoy) dari Rp 11,92 miliar. Namun dari sisi bottom line, BMBL mencatatkan laba bersih periode berjalan senilai Rp 1,71 miliar. Nilai ini anjlok 63,56% secara tahunan dari Rp 3,21 miliar. Faktor kedua yang menekan ialah minimnya aksi korporasi yang dilakukan emitenemiten ini. Padahal, aksi korporasi, seperti pembagian dividen, biasanya mampu menjaring minat investor untuk membeli saham. "Lalu, faktor ketiga ialah kurangnya implementasi good corporate governance (GCG) dari emiten pasca IPO," ucap Nafan saat Selasa (12/12). Selain memperbaiki kinerja, Nafan menyarankan, para emiten ini agar bisa menarik kepercayaan investor. Menurut dia, kalau investor sudah percaya, maka minat di pasar akan terbentuk.
Jangan terjebak
Head of Research Retail Sinarmas Sekuritas, Ike Widiati mengatakan, di tengah banyaknya saham-saham baru yang memiliki kinerja buruk, maka pelaku pasar sebaiknya lebih selektif dan bijaksana dalam melakukan investasi saham. "Jangan terjebak fear of missing out (FOMO) semata," kata Ike. Ia mengingatkan, ketidakpastian selalu terjadi dan setiap tahun selalu ada masalah yang muncul. Karena itu investor harus cerdas dan fleksibel. Sebaiknya, berinvestasi di sahamsaham yang punya fundamental bagus dan manajemen yang kuat. Di sisi lain, saham-saham IPO yang telah turun ini bukan berarti tak punya peluang naik. Founder CTA Saham Andri Zakaria mengatakan, investor yang berani mengambil risiko dan tertarik untuk melirik saham di level gocap atau di bawahnya, tetap harus mencermati beberapa hal penting. Di antaranya, saham-saham itu harus didukung isu fundamental positif dan volume transaksi yang meningkat.
Sumber : Kontan 13 Desember 2023
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |