Dunia Menuju Pertumbuhan Ekonomi Rendah

Jumat, 30 Dec 2022

LONDON, ID - Inflasi tinggi, krisis energi dan pangan, dan suku bunga yang bergerak naik menjadi wajah utama perekonomian global tahun ini. Karena inflasi terus tinggi, bank-bank sentral dunia pun teguh untuk terus menaikkan suku bunga. Beberapa kali dalam laju yang paling tinggi.

 

Akibatnya, resesi bergaung di mana-mana. Ekonomi global dikhawatirkan resesi tahun depan. Perdebatannya terus berlangsung. Ada yang bilang resesi masih bisa dihindari. Ada pula yang bilang resesi tak terhindarkan tapi akan dangkal dan tidak akan lama. Inflasi tinggi bermula dari pelonggaran kebijakan-kebijakan Covid sejak awal tahun ini di banyak negara. Utamanya negara-negara dan kawasan yang menjadi motor pertumbuhan dunia. Seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Pembatasan dicabut, kegiatan ekonomi menggeliat, permintaan meningkat. Permintaan terus tinggi, sementara dunia belum sembuh dari gangguan rantai pasokan. Alhasil, laju inflasi tinggi. Bank sentral bergerak untuk meredam permintaan. Bahkan langkah-langkahnya disebut memerangi inflasi. Namun laju inflasi konsumen ini belum juga menurun, walau di sebagian negara sudah mulai mereda. Pada saat yang sama, ketegangan geopolitik tetap banter terdengar. Sepuluh bulan sudah perang di Ukraina berkecamuk. Dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Pihak yang berkonflik ingin perang berakhir, tapi tampaknya belum ingin berhenti berperang. Presiden Vladimir Putin terakhir mengatakan ingin perang ini berakhir secepat-cepatnya. Tapi pada Jumat (29/12/2022), pasukannya dilaporkan membombardir lagi Ukraina dengan seratusan rudal. Di medan diplomasi, Rusia kukuh dengan proposal berhenti perangnya. Ukraina juga bergeming dari rencana 10 poinnya.

Amerika Serikat (AS) yang bersama sekutu Baratnya mendukung Ukraina pun bulan ini menyatakan, terpulang kepada Volodymyr Zelensky, presiden Ukraina, bagaimana ia ingin perang ini berakhir. Singkatnya, masalah ini masih akan tetap runyam bagi dunia memasuki 2023. Masalah yang tak kalah runyamnya terjadi di Tiongkok menjelang tutup tahun ini. Awalnya, kasus Covid-19 melonjak lagi. Karantina superketat lalu dijalankan lagi hingga menimpa puluhan juta penduduk. Di wilayah barat jauhnya, Xinjiang, kebijakan yang disebut nir-Covid itu menimbulkan aksi protes yang menyebar jadi aksi unjuk rasa nasional. Pemicunya kebakaran sebuah gedung apartemen yang menelan cukup banyak korban. Warga marah para korban bisa diselamatkan andai tidak ada kebijakan karantina superketat itu. Usai aksi unjuk rasa nasional beberapa hari dan setiap hari, Pemerintah Pusat di Beijing melunak. Pelonggaran dijalankan. Warga bisa beraktivitas lagi. Di dua kota terbesar Beijing dan Shanghai bahkan mulai pada bisa ngantor lagi. Bahkan mulai 8 Januari 2023, Tiongkok akan meniadakan wajib karantina bagi pendatang dari luar negeri. Kebijakan nir-Covid pun praktis berakhir. Celakanya, infeksi Covid menjadi tidak terbendung.

Para pejabat setempat menyebutnya tidak terkendali. Karena wajib tes tidak ada lagi. Kasus meroket dari hari ke hari. Pembatasan bepergian dicabut, warganya langsung memesan tiket-tiket perjalanan ke luar negeri. Sejumlah negara kelabakan bakal kedatangan turis-turis asal Tiongkok itu. Sebagian sudah melancong ke Italia. Dalam satu penerbangan, otoritas Italia menyatakan separuh lebih penumpangnya positif Covid. Untungnya belum ditemukan varian baru bawaan dari Tiongkok. Masih Omicron sebagaimnana disebut para pejabat Tiongkok yang dominan menyebar di negaranya saat ini. Singkatnya juga, masalah Covid di Tiongkok ini juga akan membuat runyam dunia memasuki 2023. Sudah perekonomiannya melambat sepanjang pandemi, harapan pemulihan lebih cepat menjadi tanda tanya. Walau ada yang berpendapat sebaliknya, pembukaan kembali perbatasan itu akan mendorong pemulihan lebih cepat. Sekarang beralih ke pandangan kalangan analis, perekonomian global diprediksi menghadapi satu dekade pertumbuhan yang lamban dimulai 2023. Pasalnya, perekonomian di seluruh dunia sedang bergulat dengan berbagai kejutan yang disebutkan di atas. Dana Moneter Internasional (IMF) terakhir memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global melambat dari 6% di 2021 menjadi 3,2% pada 2022, dan 2,7% untuk 2023. IMF mencirikan kondisi ini sebagai profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut dari pandemi Covid-19. Sementara itu, inflasi global diperkirakan naik dari 4,7% di 2021 menjadi 8,8% pada tahun ini sebelum turun menjadi 6,5% untuk 2023, kemudian merosot lagi menjadi 4,1% pada 2024.

Meski demikian, angka-angka ini masih di atas tingkat target bagi kebanyakan bank sentral besar. Menurut Daniel Lacalle, penulis dan kepala ekonom di Tressis Gestion, potensi pembukaan kembali ekonomi Tiongkok sepenuhnya merupakan hal positif terbesar yang diharapkan pasar pada 2023. “Kami telah melihat gambaran yang sangat suram pada ekonomi Tiongkok, yang mana penting tidak sekadar untuk pertumbuhan seluruh dunia tetapi khususnya bagi Amerika Latin dan juga Afrika. Pembukaan kembali ekonomi Tiongkok tentu akan memberikan dorongan yang signifikan untuk pertumbuhan di seluruh dunia, tetapi juga menurut saya ini adalah faktor yang sangat penting adalah eksportir Jerman dan Prancis telah merasakan tekanan dari lockdown dan pelemahan lingkungan keuntungan di Tiongkok, dan ini pasti akan banyak membantu,” demikian penjelasannya kepada CNBC. Lacalle pun tetap mengingatkan bahwa dorongan tersebut tidak akan mendekati level pertumbuhan yang tercatat di tahun-tahun sebelum terjadi pandemi, untuk beberapa saat yang akan datang. “Saya pikir kita mungkin akan memasuki satu dekade pertumbuhan yang sangat, sangat buruk di mana ekonomi maju akan menemukan diri mereka beruntung dengan pertumbuhan 1% per tahun, jika mereka mampu mencapainya, dan apa yang lebih disayangkan daripada yang lainnya adalah dengan tingkat inflasi yang tinggi. Saya pikir, kita sedang menjalani reaksi dari paket stimulus besar-besaran yang diterapkan pada 2020 dan 2021. Itu tidak menghasilkan potensi pertumbuhan yang diharapkan banyak ekonom,” katanya Namun terlepas dari prospek yang suram, Lacalle menekankan bahwa tidak ada krisis yang muncul dalam waktu dekat. “Saya kira pasar mulai menghargai lingkungan di mana situasi global bukanlah tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi, tetapi adalah situasi yang menghindari krisis keuangan, dan jika itu terjadi, itu pasti positif,” demikian ia menyimpulkan. Dari tadinya 2022 diharapkan menjadi tahun kembalinya ekonomi dunia setelah pandemi Covid. Sebaliknya, 2022 ditandai dengan perang baru, rekor inflasi, dan juga bencana-bencana terkait iklim.

Akibatnya, 2022 disebut sebagai tahun polikrisis. Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Adam Tooze. Alhasil, bersiaplah untuk lebih banyak kesuraman di tahun 2023. “Jumlah krisis telah meningkat sejak awal abad ini. Sejak Perang Dunia Kedua, kami belum pernah melihat situasi serumit ini,” kata Roel Beetsma, profesor ekonomi makro di Universitas Amsterdam,” kepada AFP, Kamis (29/12/2022). Bank-bank sentral awalnya berkeras bahwa inflasi yang tinggi hanya akan bersifat sementara karena ekonomi kembali normal. Tetapi invasi Rusia ke Ukraina membuat harga energi dan pangan melonjak. Banyak negara sekarang bergulat dengan krisis biaya hidup karena upah tidak mengikuti inflasi. Sehingga memaksa rumah tangga membuat pilihan sulit dalam pengeluaran mereka. Harga-harga konsumen di kelompok negara G20 diperkirakan mencapai 8% pada kuartal IV ini sebelum turun menjadi 5,5%. Ini menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD. Lembaga berbasis di Paris, Prancis ini mendorong pemerintah untuk memberikan bantuan untuk membawa bantuan kepada rumah tangga. Di 27 negara Uni Eropa (UE), 674 miliar euro sejauh ini telah dialokasikan untuk melindungi konsumen dari harga energi yang tinggi. Jerman, negara ekonomi terbesar Eropa dan paling bergantung pada pasokan energi Rusia, menyumbang 264 miliar euro dari total itu.

Menurut EY, Satu dari dua orang Jerman mengatakan mereka sekarang hanya belanja barang -barang penting. Kalangan ekonom memperkirakan Jerman dan Italia jatuh ke dalam resesi. Perekonomian Inggris sudah menyusut. Lembaga pemeringkat S&P Global memperkirakan stagnasi untuk zona euro pada 2023. Namun IMF masih mengharapkan ekonomi dunia tumbuh pada 2023, walau sebesar 2,7%. Sedangkan OECD memperkirakan lebih rendah, yakni 2,2%. Namun bagi Beetsma, krisis terbesar adalah perubahan iklim, yang terjadi dalam gerakan lambat. Menurut raksasa reasuransi Swiss Re, bencana alam dan buatan manusia telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 268 miliar pada 2022.

Sumber : Investor Daily, 30 Desember 2022


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)