Ajaib resmi menambah porsi kepemilikan atas saham Bank Bumi Arta (BNBA) menjadi 40% dan menjadi pemegang saham mayoritas.
PT Takjub Finansial Teknologi alias Ajaib kian memperkuat cengke ramannya sebagai pemegang saham mayoritas PT Bank Bumi Arta Tbk. (BNBA). Seolah belum puas dengan kepemilikan 24% yang digenggam sejak akhir tahun lalu, pengelola layanan fintek unikorn berbasis investasi tersebut kembali menambah porsi sahamnya di BNBA. Berdasarkan keterbukaan informasi publik yang dirilis Senin (11/4), Ajaib merogoh kocek tambahan Rp596,53 miliar untuk membeli 443,52 juta saham tambahan dari tiga pemegang saham di atas 5% dalam BNBA. Setelah pembelian tersebut, kepemilikan Ajaib meningkat jadi sekitar 1,1 miliar lembar atau setara 40%. Otomatis, Ajaib pun kini menyandang status investor mayoritas BNBA. Namun, hingga artikel ini dirilis, status pengendali BNBA masih melekat di Surya Husada Investment. Bisnis mencoba menghubungi bos sekaligus pendiri Ajaib Anderson Sumarli untuk memastikan bagaimana rencananya di BNBA ke depan. Teapi, hingga artikel ini rilis Anderson belum merespons. Kendati manajemen masih bungkam, menerka arah kongsi Ajaib dan BNBA pada dasarnya tidak begitu sulit. Terutama bila berkaca pada akuisisi sebelumnya yang telah dilakukan fintek-fintek lain. Berdasarkan hitung-hitungan Bisnis, Ajaib sendiri merupakan fintek keenam yang menanam investasi di dalam bank mini selama 1-2 tahun terakhir. Dari daftar tersebut, dua di antaranya yakni Welab dan Alami yang mengucurkan investasi pada lembaga perbankan non-emiten. Sisa yang lain seperti Gopay, Akulaku, dan Kredivo berinvestasi pada tiga emiten bank, yakni PT Bank Jago Tbk. (ARTO), PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) serta PT Bank Bisnis Inernasional Tbk. (BBSI). Arah pengembangan dari ketiga bank ini pun cenderung sama. Tepatnya, trans-formasi menjadi bank digital.
Layaknya ketiga kompetitor yang sudah disuntik fintek, rencana ‘ganti kulit’ menjadi bank digital juga sudah diisyaratkan BNBA. Salah satunya lewat rights issue yang mereka gulirkan pada Desember 2021 lalu. Dalam prospektus rights issue tersebut, telah teralokasi pagu penggunaan dana 20% untuk keperluan pengembangan layanan digital banking. Hingga saat ini, belum ada klaim tegas apakah layanan digital banking yang dimaksud adalah transformasi entitas menjadi bank yang sepenuhnya digital (non-hybrid). Namun, isyarat ke arah transformasi tersebut tampak semakin kuat, seiring keputusan perseroan unuk menganggarkan dana digital banking tersebut guna mengembangkan sistem open API. Open API adalah sistem komunikasi antar pelaku melalui sebuah antarmuka aplikasi (API). Terobosan ini lazimnya menjadi jembatan bagi perbankan untuk memberikan kesempatan kepada pengembang teknologi perusahaan lain termasuk e-commerce dan fintek untuk melakukan integrasi sistem ke sistem. “Perseroan juga mempersiapkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia dalam menghadapi perkembangan digital banking,” kata manajemen BNBA. Bila mengacu laporan realisasi rights issue yang diterbitkan awal tahun ini, aksi korporasi BNBA pada 2021 lalu sukses menghasilkan dana bersih (setelah dipotong biaya penawaran umum) Rp618,25 miliar. Artinya, pagu yang dialokasikan untuk keperluan pengembangan infrastruktur digital termasuk di dalamnya open API mencapai Rp123,65 miliar. Bisnis sudah menghubungi Sekretaris Perusahaan BNBA Lyvina Sari untuk mengonfirmasi progres realisasi penggunaan dana tersebut.
Namun, belum ada penjelasan lebih lanjut hingga arikel ini rilis. Adapun pemanfaatan dana hasil rights issue sebenarnya bukan satu-satunya tantangan perseroan pada tahun ini. Ketentuan OJK yang mengharuskan bank digital agar memiliki modal inti sedikitnya Rp3 triliun per akhir 2022 juga akan menjadi fokus lain untuk dicapai. Sebab, per akhir tahun lalu, modal inti tier 1 BNBA baru berada pada kisaran Rp2,21 triliun. Jaminan dari sisi organik bukannya tidak ada. Mengucurnya alokasi duit dari righs issue terakhir, yang 80% akan dipakai untuk penyaluran kredit, bakal memberikan stimulus besar bagi pertumbuhan kredit BNBA. Hanya saja, dengan jumlah kekurangan sekitar Rp790 miliar dan desakan untuk terus mempercepat digitalisasi, agaknya penghimpunan dana lewat aksi korporasi (anorganik) tetap dibutuhkan. Pada titik itulah dampak lain kehadiran Ajaib bakal berpotensi dirasakan oleh perseroan. Dengan kehadiran perusahaan yang punya reputasi positif di kalangan invesor publik, analis menilai potensi serapan lewat aksi korporasi seperti rights issue akan lebih besar. “Ketika bank digital melakukan rights issue, investor pasti akan selalu melihat dan mempertimbangkan siapa investor strategis ataupun pengendalinya. Jadi, hal tersebut tentu bisa menjadi keuntungan,” papar Head of Investmen Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana. Ajaib memang memiliki rekam jejak positif di kalangan investor publik. Baru diluncurkan pada 2019, aplikasi investasi mereka telah memiliki lebih dari 1 juta pengguna per akhir 2021. Profil investor yang berada di balik Ajaib pun tidak kalah menarik perhatian. Sofbank, DST Global, Insignia, Horizons Venture, Iconiq, Instiutional Venture Partners, Alpha JWC, hingga Ribbit Capital adalah contoh sederet nama kondang yang pernah menyuntik pendanaan untuk Ajaib.
Sumber: Bisnis Indonesia (14 April 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |