Market Cap BCA Tembus Rp 1.000 Triliun

Kamis, 17 Mar 2022

JAKARTA - Nilai kapitalisasi pasar atau market cap PT Bank Central Asia Tbk (BCA) akhirnya menembus Rp 1.000 triliun, setelah harga emiten dengan kode saham BBCA itu ditutup pada level Rp 8.200 pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (16/03/2022). Saham 46 bank mendominasi BEI dengan market cap di atas Rp 3.000 triliun atau 35% dari total kapitalisasi pasar. BBCA berada di peringkat teratas dengan market cap 11,4%, disusul BBRI 8%, TLKM 5,2%, BMRI 4,2%, dan ASII 3%.

Saham bank di Indonesia banyak diincar, tidak hanya PT Bank Central Asia Tbk yang ber-ticker code BBCA. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) juga diburu investor. Total market cap (kapitalisasi pasar) 46 emiten bank di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 3.120,9 triliun per 16 Maret 2022. Ini sekitar 35,58% dari total market cap 780 emiten di BEI, atau naik dibanding 30 Desember 2021 sebanyak 34,41%. Saham-saham perbankan mendominasi market cap di bursa dalam negeri, karena peluang pertumbuhan masih tinggi. Masih banyak masyarakat yang belum terjangkau perbankan (unbanked). Selain potensi pertumbuhan bisnisnya besar sekali, saham-saham perbankan juga mencatatkan gain yang bagus dan emiten rajin memberikan dividen tinggi. Saham-saham ini sangat prospektif. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji menjelaskan, secara garis besar, kinerja harga saham bank terutama emiten-emiten big cap cemerlang. Investor jangka panjang akan cenderung menikmati profit growth yang optimal dan konsisten.

“Kalau melihat secara kinerja fundamental pun, dari tahun ke tahun kinerja perbankan menunjukkan kinerja yang solid. Kalau melihat tren net interest income yang solid, ini juga menunjukkan perbankan mampu menjalankan good corporate governance dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ke arah go digital. Mitigasi risiko juga mampu dijalankan emiten perbankan secara efektif, sehingga rasio NPL (kredit bermasalah) dapat ditekan seminimal mungkin. Meskipun sempat terkena dampak krisis akibat pandemi Covid-19, tapi NPL masih terjaga dengan baik,” kata dia kepada Investor Daily, Rabu (16/3). Nafan mengatakan, emitenemiten perbankan big cap juga memiliki kinerja pertumbuhan kredit yang berkualitas dan memadai, sehingga bank-bank tersebut tidak kesulitan dalam hal likuiditas. Di sisi lain, regulator dan pemerintah juga memberikan dukungan melalui program restrukturisasi kredit.

“Mengenai kondisi pemulihan ekonomi yang terjadi saat ini, perbankan akan mendapatkan benefit dari kinerja pertumbuhan kredit. Kredit ini antara lain ditopang dari kredit konsumer dan government spending untuk pembangunan infrastruktur, yang memanfaatkan bank BUMN. Ada juga bank yang komitmen dan mengandalkan divisi treasury untuk meningkatkan kinerja, misalnya yang memiliki cabang di luar negeri seperti BNI, untuk mewujudkan program pemerintah mendapatan sumber devisa,” ucap dia. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga menjaga stabilitas moneter dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mendukung stabilitas sistem keuangan, termasuk perbankan. “Saya memperkirakan, dalam Rapat Dewan Gubernur BI besok (hari ini, Kamis 17/3/2022), BI cenderung pada penetapan tingkat suku bunga acuan (BI7DRR) di level yang sama, di level 3,5%. Ini berbeda dengan The Fed (bank sen tral AS) yang melihat kenaikan laju inflasinya yang mencapai hampir 8% pada Februari lalu, yang membuat The Fed memilih opsi untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kalau untuk BI, langkah yang tepat adalah mempertahankan BI7DRR, untuk menjaga kinerja pertumbuhan kredit relatif stabil dan menjaga tingkat likuiditas perbankan memadai,” ujar Nafan.

Sumber: Investor Daily (17 Maret 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)