Bank Amar (AMAR) dan Bank Ganesha (BGTG) sama-sama meracik rights issuedengan target modal tambahan di atas Rp1 triliun. Seberapa menarik prospek saham keduanya?
Setelah penantian panjang, PT Bank Amar Indonesia Tbk. (AMAR) dan PT Bank Ganesha Tbk. (BGTG) akhirnya mengeksekusi langkah penambahan modal via rights issuepada pertengahan Februari 2022. Adapun, AMAR dan BGTG telah merilis harga pelaksanaan masing-masing. Dari sisi cumrights, keduanya memang mengambil waktu yang relatif berjarak. AMAR telah menutup cumrights sejak Jumat (11/2). Sementara itu BGTG membuka kesempatan bagi investor baru di pasar reguler untuk ambil bagian hingga Selasa (22/2). Namun, membandingkan prospek kedua emiten ini agaknya masih beralasan mengingat target dana yang dikejar perusahaan sebelas dua belas. Tepatnya pada kisaran Rp1 triliun hingga Rp1,1 triliun. Sebagai gambaran, pembeli siaga rights issue AMAR dan BGTG adalah pengendali masing-masing. Tolaram Group Inc. yang notabene pemegang saham terbesar AMAR menyiapkan dana sebanyak-banyaknya Rp1.000.852.056.000 (Rp1 triliun). Sekitar Rp300,25 miliar di antaranya akan dipakai untuk menyerap saham jatah mereka dengan porsi batas atas. Sedangkan sisanya yakni sekitar Rp700 miliar disiapkan untuk menyerap saham baru yang berpotensi tidak dibeli investor publik. Setelah rights issue, Tolaram yang saat ini menggenggam 30% saham AMAR berpotensi mengalami peningkatan porsi kepemilikan menjadi maksimal 59%. Dalam kasus BGTG, PT Equity Development Tbk. (GSMF) yang berstatus pengendali menyiapkan dana segar Rp1 triliun. Rp333,64 miliar di antaranya digunakan untuk menyerap jatah perseroan sedangkan Rp666,35 miliar sisanya disiapkan untuk mengambil porsi saham BGTG yang tidak diminati publik. Usai rights issue, GSMF berpotensi mengalami penguatan porsi kepemilikan terhadap BGTG. Dari awalnya 29,86% menjadi maksimal 51,54%.
Menimbang status dan besarnya alokasi dana masing-masing pembeli siaga, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai daya tarik rights issue AMAR dan BGTG relatif minim. Apalagi, selain pengendali, belum muncul nama-nama investor strategis potensial yang akan berparisipasi dalam aksi korporasi tambah modal ini. “Sepertinya prioritasnya memang untuk permodalan dulu. Jadi, kemungkinan saham rights issue akan lebih banyak diserap pengendali,” kata Wawan ketika dikonfirmasi Bisnis, akhir pekan lalu. Penilaian tersebut juga telah diamini oleh manajemen AMAR maupun BGTG, yang dalam prospektusnya menyebut bahwa seluruh dana akan dipakai untuk penguatan struktur permodalan dalam rangka menopang ekspansi kredit. Sebagai konteks, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan batas minimum modal inti perbankan hingga akhir tahun ini adalah Rp3 triliun. AMAR belum mengumumkan modal inti terbarunya per akhir tahun. Namun bila mengacu laporan keuangan akhir kuartal III/2021, perusahaan ini baru memiliki modal inti Rp1,01 triliun per akhir September 2021. BGTG, di saat yang sama, memiliki modal inti Rp1,05 triliun saja. Dengan kondisi di atas, bahkan setelah rights issue pun AMAR maupun BGTG masih membutuhkan aksi korporasi tambahan lagi untuk mencapai posisi Rp3 triliun. Oleh karena itu, Wawan menilai perhatian pelaku pasar terhadap kedua emiten belum akan surut kendatipun rights issue berlalu. “Yang ditunggu investor dari bank digital adalah siapa investor strategis baru karena ekosistem itu sangat penting. Jadi saya rasa ini masih akan ditunggu. ”Sebelumnya, baik AMAR maupun BGTG memang telah mengklaim bahwa mereka sama-sama dalam masa penjajakan dengan calon investor baru. Namun, hingga kini belum ada bocoran mengenai siapa identitas investor strategis yang dimaksud. “Kami sedang dalam pembicaraan,” kata Direktur AMAR Vishal Tulsian dalam paparan virtual, 2 Februari 2022. Adapun hingga akhir sesi perdagangan pekan lalu (18/2), saham AMAR ditransaksikan investor dengan harga Rp346 per saham atau luntur 6,99% dari pembukaan. AMAR telah terkoreksi 26,38% dalam sepekan terakhir dan 11,28% secara year to date (ytd). Di sisi lain, BGTG juga terkoreksi ke level Rp250 per saham akhir pekan lalu. Namun, secara mingguan (10,71%) tren koreksi emiten ini lebih landai dari AMAR. Bahkan secara ytd, pergerakan BGTG masih relatif naik 1,63%.
Menurut Wawan, perbedaan tingkat tekanan tersebut wajar karena AMAR mematok harga saham rights issue di nominal Rp173 per saham. Harga ini jauh lebih murah dari banderol saham perseroan sekarang.Di sisi lain, harga Rp200 per saham yang dipatok BGTG relatif lebih minim jaraknya dibanding mahar saham perseroan saat ini. “Biasanya yang selisih harganya jauh memang akan lebih volatil. Karena pasar pasti menurunkan harganya agar sesuai dengan saham rights issue. ”Meski belum ada sinyal dari kedua entitas untuk melakukan penguatan belanja dalam rangka menjelma jadi bank digital, penggunaan alokasi dana rights issue untuk penyaluran kredit bukanlah sesuatu yang buruk. Apalagi, prospek industri perbankan tahun ini diramal positif seiring pemulihan ekonomi secara bertahap dari pandemi Covid-19. “Kami mempertahankan pandangan overweight untuk saham bank di Indonesia khususnya bank besar. Performa kredit yang melebihi ekspektasi merupakan potensi. Risiko sektor ini adalah kemungkinan kenaikan biaya akuisisi dan kemungkinan hengkangnya investor asing,” papar analis CGS-CIMB Sekuritas Yulinda Hartanto dan Ilham Firdaus dalam risetnya, pekan lalu (14/2). Kendati tidak tergolong bank besar sebagaimana dimaksud analis, dalam laporan keuangan terakhirnya AMAR relatif menunjukkan perkembangan bisnis positif.
Dari sisi pinjaman, misalnya, hingga kuartal II/2021, Amar Bank mencatatkan total kredit sebesar Rp1,85 triliun atau tumbuh sebesar 8,1% secara tahunan (ytd). Portofolio pinjaman Amar Bank didominasi penyaluran via Tunaiku, fintech yang masih berada di bawah naungan perseroan. Pinjaman yang disalurkan melalui Tunaiku sebagian besar diberikan kepada segmen usaha mikro dengan kontribusi 44% dari total portofolio kredit. Sayangnya, performa pertumbuhan kredit itu belum mampu diterjemahkan menjadi bottom line yang solid. Per akhir September, laba Rp565 juta yang dibukukan perseroan cenderung menunjukkan tren penurunan. Penurunan laba juga dibukukan BGTG. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, perusahaan ini hanya membukukan keuntungan Rp6,12 miliar per akhir September 2021 atau turun 54% secara yoy. Penurunan laba diakibatkan merosotnya pendapatan bunga sebesar 14% yoy atau Rp235,23 miliar pada kuartal III tahun ini. Sementara, beban bunga juga menurun sebesar 23% yoy menjadi Rp107,74 miliar. Alhasil, pendapatan bunga bersih turun 4% yoy ke posisi Rp127,48 miliar.
Sumber : Bisnis Indonesia (23 Februari 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |