JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal memperluas kriteria dan pengawasan konglomerasi keuangan (KK) di Indonesia. Saat ini, OJK sedang menggodok Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang Konglomerasi Keuangan dan Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan. RPOJK ini merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan alias (P2SK), khususnya Bab XV mengenai KK. POJK terbaru sekaligus akan menggantikan POJK Nomor 45/POJK.03/2020 tentang Konglomerasi Keuangan yang terbit pada 16 Oktober 2020. Ada sejumlah poin baru yang diatur dalam RPOJK KK ini. Salah satunya soal kriteria besaran aset grup konglomerasi. Jika POJK 45/2020 hanya menggunakan nilai aset lebih besar atau sama dengan Rp 100 triliun, di RPOJK baru OJK menambahkan kriteria berikutnya, yakni aset grup minimal Rp 20 triliun hingga di bawah Rp 100 triliun. Kriteria induk usaha alias Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) pun terbagi dua, yakni PIKK Operasional dan Non Operasional. PIKK Operasional adalah KK yang holding atawa induknya menjalankan bisnis jasa keuangan dan ditunjuk pihak pemegang saham pengendali (PSP) atau pemegang saham pengendali terakhir (PSPT).
Sedang PIKK Non Operasional adalah perusahaan yang dimiliki dan ditunjuk oleh PSP dan PSPT untuk bertindak sebagai holding company. Perusahaan ini tidak bergerak di industri keuangan. Selain itu, ada aturan terkait KK BUMN di pasal 9, yang menyebutkan hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung pemerintah pusat atau pemerintah daerah dikecualikan dari pembentukan PIKK dan KK. Jadi bank BUMN yang berbeda beserta perusahaan anak LJK dilarang membentuk PIKK dan KK. Selain itu, pembentukan KK oleh bank asing juga dikecualikan dari beleid ini (lihat infografis).
Dampak sistemik
Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari OJK terkait rencana POJK KK terbaru ini. Gerakan tutup mulut juga dilakukan para bankir. "Kita tunggu saja (aturannya)," kata Lani Darmawan, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk, Minggu (12/5). Yang terang, OJK mencatat, ada 15 KK hingga akhir 2023. 15 KK tersebut menguasai total aset senilai Rp 9.018 triliun. Ini terdiri dari total 107 LJK dengan nilai kredit mencapai Rp 5.575 triliun. Sementara modal 15 KK tersebut mencapai Rp 1.484 triliun, dengan laba bersih Rp 239,5 triliun. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, poin aturan di RPOJK KK terbaru akan berdampak positif bagi mitigasi risiko terkait dampak sistemik. Sebab, berdasarkan kriteria lama, banyak entitas bisnis keuangan yang tidak tergabung dalam satu konglomerasi keuangan. "Padahal ada bahaya sistemik yang terjadi ketika entitas KK mengalami goncangan," kata dia. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat, banyak grup bisnis beraset di bawah Rp 100 triliun berpotensi sistemik terhadap pasar. "Yang asetnya antara Rp 20 triliun sampai Rp 100 triliun, lebih banyak daripada yang di atas Rp 100 triliun. Contohnya Saratoga, Manulife, Schroders, BNP Paribas bisa masuk," ujarnya.
Sumber : Kontan 13 Mei 2024