Rem Rilis Global Bond Saat Pasar Bergejolak

Senin, 29 Apr 2024

JAKARTA. Kementerian Keuangan mencatat, realisasi pembiayaan utang hingga akhir Maret atau kuartal I-2024 mencapai Rp 104,7 triliun. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "Nilainya turun drastis 53,6% dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 225,4 triliun," tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (26/4) pekan lalu. Ia menjelaskan, awal tahun ini pemerintah hati-hati merealisasikan pembiayaan utang, terutama dalam merilis surat berharga negara (SBN). Maka dari itu, nilainya sangat jauh dibandingkan periode sama tahun lalu. Pembiayaan utang meliputi penerbitan SBN dan pinjaman. Nilai penerbitan SBN hingga kuartal I-2024 sebesar Rp 104 triliun setara 15,6% dari target. Adapun pinjaman senilai Rp 600 miliar, turun 91,9% dari periode sama tahun lalu, dan baru 3,4% dari target. "Kami memahami situasi di pasar keuangan dan pasar surat berharga domestik maupun global saling mempengaruhi. Situasi global sangat dinamis," ungkap Sri Mulyani. Untuk itu, pemerintah akan tetap mengelola secara fleksibel terkait timing, tenor, currency dan instrumen, untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal. "Ini adalah waktu yang dinamis, karena ada perubahan nilai tukar, suku bunga, yield dan guncangan dari negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa dan Timur Tengah yang harus diperhatikan," jelas Menkeu. Alhasil, kondisi ekonomi AS, Jepang, Eropa dan Timur Tengah akan menentukan dalam penerbitan surat utang.

Prioritas SBN rupiah

Staf Bidang Ekonomi, Industri dan Global Markets Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai, pemerintah bisa merilis SBN dengan memprioritaskan surat utang berdenominasi rupiah ketimbang valuta asing (valas). Kebijakan ini sebagai langkah antisipasi menghadapi ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan global yang saat ini memanas pasca konflik Iran dan Israel. "Kalau kondisi global memanas, bisa ambil cara dengan optimalisasi obligasi domestik, jadi bisa ambil utang di dalam negeri. Kita bisa mendapatkan pembiayaan tingkat risiko eksternal yang relatif rendah, kalau suku bunga global lagi tinggi," tutur Myrdal, Minggu (28/4).Meski begitu, dia menyebut pemerintah bisa menahan untuk tidak menerbitkan SBN domestik atau valas di saat kondisi perekonomian global yang memanas, dengan syarat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih mencatatkan surplus. Namun jika APBN sudah mulai mengalami defisit, pemerintah bisa memilih opsi dengan memperbanyak penerbitan SBN domestik.

"Kemudian, saat risiko eksternal meningkat, kita harus rem penerbitan SBN. Kedua, terkait dengan struktur pembiayaan yang tinggi kita mau tidak mau harus menahan penerbitan utang secara agresif," ungkap Myrdal. Adapun pemerintah bisa mulai menerbitkan surat utang dengan agresif di saat kondisi suku bunga global dan domestik rendah, serta jika pemerintah ingin melakukan ekspansi besar-besaran. Belum lama ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menyampaikan, pihaknya akan menekan porsi penerbitan SBN valas pada tahun ini. Pemerintah memang masih enggan memerinci porsi penerbitan SBN valas pada tahun ini. Namun Kemenkeu berupaya menekan porsi utang valas secara keseluruhan. Selama ini, total utang pemerintah dalam denominasi valas terus menurun. Per 31 Desember 2023, porsi utang pemerintah dalam valas mencapai 28,27%, turun dibanding tren lima tahun terakhir. Ia memerinci, porsi utang valas pemerintah pernah mencapai 40,97% pada tahun 2019. Kemudian turun menjadi 33,57% pada tahun 2020, 30,05% pada tahun 2021, dan 29,61% pada tahun 2022. Artinya, lanjut Suminto, risiko portofolio utang pemerintah terkendali dan membaik. Di samping itu, turunnya penerbitan SBN juga untuk menjaga risiko nilai tukar.

Sumber : Kontan 29 April 2024


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)