Setoran PPN Turun, Sinyal Ekonomi Melambat

Senin, 29 Apr 2024

JAKARTA. Konsumsi masyarakat di awal tahun ini melemah, sekaligus memberikan sinyal ekonomi tahun ini berpotensi melambat. Hal itu menjadi lampu kuning bagi pemerintah, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tekanan konsumsi rumah tangga, salah satunya terindikasi dari setoran pajak konsumsi, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang terkoreksi. Kementerian Keuangan mencatat, setoran dua jenis pajak ini mencapai Rp 155,79 triliun per akhir Maret 2024. Angka itu turun 16,1% year on year (yoy). Realisasi ini juga baru setara 19,2% dari target yang ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar Rp 811,36 triliun (lihat tabel). Secara rinci, setoran PPN dalam negeri neto turun 23% yoy. Padahal, jenis pajak ini berkontribusi paling besar terhadap penerimaan pajak kuartal I-2024, yakni 22,1%. Anjloknya setoran PPN dalam negeri seturut kenaikan restitusi di sektor industri pengolahan, perdagangan dan pertambangan terutama yang berasal dari kompensasi lebih bayar tahun-tahun sebelumnya. Padahal di periode yang sama tahun lalu, PPN DN masih tumbuh 67,3% yoy. "Ini harus kita lihat secara hati-hati. Artinya ada koreksi yang mempengaruhi penerimaan negara. Koreksi dari kegiatan ekonomi, apakah dari sisi harga komoditas maupun kegiatan ekonomi yang terefleksikan dalam penerimaan negara," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat (26/4) pekan lalu. Namun secara bruto, penerimaan PPN DN pada kuartal I-2024 masih tumbuh 5,8% yoy. Hanya saja, pertumbuhanya melambat dari periode sama tahun lalu yang naik hingga 34,7% yoy.

Di sisi lain, PPN impor juga melorot sejalan melemahnya aktivitas impor. Secara neto, PPN impor turun 2,8% yoy, setelah tumbuh 11,2% pada periode sama tahun lalu. Pun secara bruto, jenis pajak ini turun 2,8%, setelah tumbuh 23,7% di tahun sebelumnya. Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai terkoreksinya setoran PPN perlu direspons serius. Apalagi, porsinya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan sangat besar, bahkan terbesar dibandingkan jenis pajak lainnya. Meski disebabkan melejitnya restitusi, Wahyu bilang perlu dilihat kemungkinan lain penyebab kontraksi setoran pajak konsumsi. Pasalnya, tanpa ada restitusi pun, penerimaan PPN tiga bulan pertama tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. "Hal ini menunjukkan bahwa selain masalah restitusi, penerimaan PPN juga dipengaruhi melemahnya transaksi perdagangan," kata dia, Sabtu (27/4). Menurut Wahyu, hal ini dipicu penurunan daya beli atau kinerja korporasi yang tertekan, baik korporosi yang bergerak di sektor perdagangan maupun manufaktur.

Kendati begitu, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman memperkirakan setoran PPN akan meningkat pasca pilpres 2024 karena pelaku bisnis semakin bergairah. Selain itu, efek perang di Timur Tengah dan Ukraina juga diprediksi mengerek harga migas. Pemerintah memang memiliki cara mudah untuk mendongkrak setoran PPN. Yaitu dengan menerapkan tarif PPN 12% mulai awal tahun depan, sesuai amanat UndangUndang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpendapat, sangat tidak tepat menerapkan tarif PPN 12% tahun depan lantaran tren suku bunga masih tinggi. Ditambah, inflasi belum bisa ditekan ke kisaran 2%. "Jika ada kenaikan tarif PPN, maka harga hampir semua barang akan naik. Jadi, semakin susah pula menurunkan angkan kemiskinan, apalagi kemiskinan ekstrem," tandas dia.

Sumber : Kontan 29 April 2024

 


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)