Sell in May and Go Away Datang Lebih Awal

Kamis, 25 Apr 2024

JAKARTA. Mendekati bulan Mei, istilah Sell in May and Go Away kembali menjadi perhatian investor. Khusus tahun ini, perhatian investor dan trader lebih dalam. Mengingat sudah banyak sentimen negatif mengepung pasar modal dalam negeri. Sell in May and Go Away menggambarkan, pelaku pasar bakal melakukan jual saham mulai Mei. Secara historis, imbal hasil di periode Mei hingga akhir Oktober sebagai periode buruk bagi pelaku pasar. Imbal hasil relatif lebih kecil, ketimbang periode November hingga April. Sebagai gambaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 4,08% pada Mei 2023. Namun khusus untuk tahun ini, aksi jual sudah berlangsung lebih cepat. Sepanjang April hingga 24 April kemarin, net sell asing tercatat sudah tembus Rp 13,1 triliun. Penyebabnya adalah galaunya The Fed dalam menurunkan bunga dan kondisi geopolitik yang memburuk. Investor asing banyak melego saham-saham jagoan di bursa. Imbasnya, sejumlah saham big caps banynak yang longsor dalam sepekan terakhir ini (lihat tabel).

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menuturkan, dengan berbagai sentimen negatif fenomena Sell in May and Go Away tetap bisa terjadi kembali. "Apalagi ada tensi geopolitik menyebabkan harga minyak kembali melonjak. Pelaku pasar akan berhati-hati pada aset yang berisiko tinggi, termasuk saham," jelas dia saat dihubungi KONTAN, Rabu (24/4). Di sisi lain, kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga akan menjadi sentimen negatif. BI resmi menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25%. Nico bilang, efek negatif ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Mulai dari pelemahan daya beli dan meningkatnya bunga kredit. Di jangka pendek langkah BI itu memang disambut pasar. "Secara jangka pendek diapresiasi, makanya rupiah menguat, bahkan imbal hasil obligasi mengalami kenaikan. Artinya, pelaku pasar sudah menerima kondisi keputusan BI," ucapnya. Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera, Daniel Agustinus juga sependapat. Terlebih melihat besarnya nilai outflow investor asing yang terjadi belakangan ini. Fenomena ini membuat harga-harga sejumlah saham tergerus. "Investor tampaknya cenderung untuk menghindari instrumen high risk seperti saham," tuturnya kepada KONTAN, Rabu (24/4).

Dengan kebijakan BI menaikkan bunga, menurut Daniel, saham-saham di sektor perbankan bakal terkoresi, terkena efek negatif. Sektor lain yang terkena efek negatif, adalah yang sensitif terhadap fluktuasi suku bunga, seperti sektor properti dan otomotif. Sedangkan saham-saham tahan banting, artinya tidak terpengaruh aksi jual di Mei nanti adalah dari sektor konsumer. Menurut Daniel, sektor ini basanya bisa bertahan dari ancaman tersebut. Selain sektor konsumer, Nico menyarankan invesotr bisa mencermati saham-saham komoditas seperti minyak dan nikel. Namun ia mengingatkan pelaku pasar untuk berhati-hati ada potensi balik arah. Maklum, kondisi pasar saat ini sedang bergejolak. Nico menyarankan, investor juga menghindari sentimen mikro yang tengah dilakoni oleh sejumlah emiten. Misalnya kuasi reorganisasi BUMI. Sarannya, investor bisa mencari saham defensif. Pilihan Nico buy on weakness TLKM target di Rp 3.500 per saham. 

Sumber : Kontan 25 April 2024

 


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)