Insentif Pajak dan Prevalensi Stunting

Kamis, 28 Mar 2024

Memasuki periode akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah pekerjaan rumah. Hal ini tidak terlepas dari persoalan angka prevalensi tengkes (stunting), yang diragukan dapat mencapai target nasional 14% pada tahun ini. Pasalnya, untuk sampai level tersebut, realisasi penurunan tahunan kasus stunting minimal 3,8 poin persentase di 2023 dan 2024. Sementara, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemkes), angka stunting Indonesia di 2023 hanya turun 0,1 basis poin (bps), yakni dari 21,6% di 2022 menjadi 21,5% di 2023. Artinya, mau tidak mau, pemerintah mesti banting tulang guna mengejar selisih 7,5 bps. Hal ini penting diupayakan mengingat stunting merupakan isu global yang serius. Hampir 3 juta kematian anak di negara berkembang disebabkan permasalahan gizi ini (Black et al., 2013). Para ahli gizi bahkan mengklaim malnutrisi ini sebagai determinan utama dari gangguan perkembangan kognitif pada anak usia dini, penurunan prestasi sekolah di masa kanakkanak, dan produktivitas kerja rendah di masa dewasa (Choudhury & Headey, 2018). Dengan kata lain, stunting membawa efek buruk bagi proses pembangunan ekonomi karena terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Oleh karena itu, stunting tidak boleh dipandang sebagai sekadar masalah kesehatan, melainkan juga menyangkut masalah sosial. Mengingat gentingnya hal tersebut, pemerintah berencana menggelar penimbangan dan pengukuran balita secara serentak pada April-Mei 2024. Kegiatan ini merupakan upaya memetakan kembali prevalensi stunting di Indonesia.

Hasil dari kegiatan ini menjadi dasar penentuan daerah yang berhak mendapatkan anggaran tambahan guna mempertajam strategi pengentasan kekurangan gizi kronis ini. Sehingga, dengan waktu yang tersisa, terdapat optimisme untuk mencapai atau setidaknya mendekati target yang telah ditetapkan. Selama ini, strategi penanganan stunting mencakup intervensi spesifik dan sensitif yang dilaksanakan melalui kerja sama multisektor di pusat, daerah dan desa. Intervensi spesifik merupakan strategi untuk mengatasi penyebab langsung stunting, seperti asupan gizi ibu hamil dan anak balita. Meski secara praktis memiliki perbedaan, terdapat kesamaan fundamental di antara kedua strategi tersebut. Hal ini terkait penggunaan pengeluaran publik (public expenditure) sebagai mekanisme utama untuk meredistribusi sumber daya dalam rangka memperbaiki permasalahan sosial.

Perluasan insentif PPN

Tidak hanya soal stunting, mayoritas kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di Indonesia memang cenderung mengandalkan mekanisme public expenditure. Perumus kebijakan sering mengabaikan peran sentral perpajakan dalam proses redistribusi sumber daya. Hal ini menyebabkan distorsi sistematis terhadap pemahaman kita mengenai karakter proses redistribusi dan konsekuensinya.Misalnya, seperti yang dijelaskan Office of National Statistics dalam artikel bertajuk "Effects of Taxes and Benefits on UK Household Income: Financial Year Ending 2018", rumah tangga melewati berbagai tahapan dalam proses redistribusi sumber daya. Hal ini dimulai dari pendapatan asli yang mereka terima dari gaji. Pemerintah kemudian memberikan berbagai tunjangan dan layanan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Namun pajak langsung (direct taxes) dan tidak langsung (indirect taxes) yang dibayarkan oleh rumah tangga guna membiayai penyediaan layanan publik tersebut akan mendorong kembali kesejahteraan rumah tangga ke posisi awal (Anyaegbu, 2011). Dengan demikian, upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang hanya dijalankan melalui mekanisme public expenditure akan "dibatalkan" oleh perpajakan yang bekerja dalam arah berlawanan. Artikel ilmiah yang ditulis Howard Reed dengan judul "The Distributional Impact of Tax and Social Security Reforms in the UK from 2010 to 2017" agaknya mendukung tesis tersebut. Dalam artikel ini, ia menegaskan bahwa dampak kebijakan sosial hanya dapat dinilai secara komprehensif dengan menggabungkan perpajakan dan pengeluaran ke dalam analisis.

Mengacu pada poin-poin tadi, agaknya kita dapat mengidentifikasi mengapa penurunan stunting di 2023 (0,1 poin persentase) jauh lebih rendah dibandingkan 2022 (2,8 poin persentase). Perlu kita ingat, pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada awal April 2022. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengembalikan defisit anggaran ke pakem awal (3% dari pendapatan nasional) setelah mengalami pelonggaran akibat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pagebluk Covid-19. Di sisi lain, PPN merupakan jenis pajak yang paling regresif karena semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok termiskin, menjadi sasaran pajak tersebut. Artinya, peningkatan tarif PPN berpotensi memunculkan persoalan seperti penurunan daya beli dan pelebaran kesenjangan ekonomi. Padahal, keduanya merupakan determinan utama dari prevalensi stunting.  Studi empiris yang ditulis Ressa Andriyani Utami dan kawan-kawan bertajuk "Identifying Causal Risk Factors for Stunting in Children Under Five Years of Age in South Jakarta, Indonesia" mengungkapkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan di bawah upah minimum regional (UMR) memiliki peluang enam kali lebih besar mengalami stunting pada balita dibandingkan rumah tangga dengan pendapatan di atas UMR.

Pasalnya, mereka yang hidup di bawah UMR cenderung tidak memiliki akses terhadap makanan bergizi dalam jumlah yang cukup karena harus membagi pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Oleh karena itu, sambil menyiapkan program-program terdekat, pemerintah dapat mempertimbangkan sejumlah insentif perpajakan yang secara khusus ditujukan untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting. Ini dapat dimulai dengan memberikan pembebasan PPN pada produk pertanian, yang dinilai mampu meningkatkan gizi anak, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin (Adjaye-Gbewonyo et al., 2019). Kebijakan semacam ini sejatinya telah diterapkan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai PPN. Namun, pembebasan PPN ini belum diperluas ke produk olahan hasil pertanian, khususnya untuk konsumsi anak usia 6 hingga 23 bulan, yang merupakan usia paling rentan terkena stunting (Dewey, 2016). Misalnya, selain susu segar (fresh milk), susu bubuk (powdered milk) seharusnya mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Pasalnya, susu bubuk sering kali diperkaya dengan nutrisi tambahan (fortified) yang mampu memasok makronutrien pemacu pertumbuhan anak.Selain itu, hasil olahan susu segar, termasuk susu bubuk, keju, dan yogurt, memiliki korelasi negatif yang lebih kuat dengan stunting dibandingkan daging dan telur (Headey et al, 2018). Sementara insentif pajak seperti pembebasan PPN dapat menjadikan produk-produk ini lebih terjangkau dan lebih mudah diakses oleh masyarakat miskin (Headey, 2023). Namun, mengingat waktu yang tersisa, usulan kebijakan di atas sulit terealisasi pada tahun ini. Meskipun demikian, hal ini seharusnya menjadi panduan yang berguna bagi perbaikan program stunting ke depan. Apalagi, stunting merupakan isu prioritas bagi pasangan Prabowo-Gibran yang sebentar lagi mengambil alih tahta kepresidenan. Bukan begitu?

Sumber : Kontan 28 Maret 2024

 


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)