JAKARTA. Polemik program perlindungan sosial (perlinsos) di masa terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo terus bergulir. Tak hanya alokasi anggaran yang jumbo, urgensi hingga data penerima bantuan sosial (bansos) pun turut dipersoalkan. Mengacu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mengalokasikan Rp 496,8 triliun, naik lebih dari Rp 50 triliun dibandingkan 2023. Belum lama ini, pemerintah mengumumkan beberapa program bansos dadakan, yang semula tak tercantum di dokumen APBN 2024. Alhasil, anggaran perlinsos tahun ini berpotensi membengkak. Sementara data penerima bansos turut disoal di tengah tingkat kemiskinan yang dalam tren menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan pada 2023 sebesar 9,36%, turun dari tahun sebelumnya 9,57%. Sejatinya penurunan tingkat kemiskinan diikuti dengan penurunan anggaran bansos. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beralasan, lonjakan anggaran perlinsos dalam APBN 2024 untuk menekan lebih lanjut angka kemiskinan. "Ini dikaitkan upaya pemerintah dalam mengakselerasi penyelesaian kemiskinan ekstrem tahun 2024," kata Menkeu, belum lama ini. Menurut BPS, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia per September 2023 di level 1,74%, turun dari posisi Maret 2022 di level 2,04%. Sementara pada tahun ini, pemerintah menargetkan kemiskinan ekstrem berkisar 0%-1%.
Namun, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima menduga pembagian bansos rentan disalahgunakan bagi kepentingan elektoral. Pasalnya, pemerintah lebih banyak membagikan bansos, baik berbentuk bantuan langsung tunai (BLT) pangan maupun bansos beras di wilayah Jawa Tengah. Menjawab kekhawatiran penyalahgunaan penyaluran bansos di tahun politik, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mempersilakan semua pihak ikut mengawasi. Data penerimaan bansos PKH hingga BLT bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial (Kemensos). "Jadi tidak benar kalau ada politisi yang bilang datanya diganti dengan data Kemenko PMK," kata dia. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menilai, bansos berupa BLT belum akan bisa langsung berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. "Tidak terlalu menambah kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB. Jadi secara ekonomi, belum tentu menambah pertumbuhan ekonomi. Tapi secara personal, tentu akan sangat membantu," kata dia.
Seberapa besar urgensi bansos di Januari-Maret 2024? Menurut Ronny, bansos beras dan BLT sebenarnya belum mendesak. Hal ini berkaca pada sejumlah hal. Pertama, inflasi Januari tercatat masih sangat rendah, di mana inflasi Januari masih 0,04% month to month. Kedua, BLT tidak biasa dikucurkan di awal tahun, terutama Februari, karena belum ada data pendukung untuk menjustifikasi. "Minimal ada data dua tiga bulan inflasi dulu, yakni data Januari, Februari dan Maret, misalnya. Baru bisa diambil kesimpulan ada tekanan daya beli masyarakat," jelas Ronny. Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyoroti dasar penetapan penerima tambahan bansos. "Penyaluran bansos di tahun politik juga rentan digunakan untuk kepentingan inkumben," kata dia, kemarin. Dalam konteks tahun ini, meski Presiden Jokowi tak lagi mencalonkan diri sebagai presiden, namun kucuran bansos di masa kampanye rentan menjadi komoditas politik. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertegas posisinya untuk tidak memihak kepada salah satu paslon. "Juga menjelaskan ke masyarakat, bansos berasal dari pajak yang dihimpun dari masyarakat," tambah Yusuf.
Sumber : Kontan 05 Februari 2024
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |