Aksi tambah modal Bank Aladin Syariah, rencana ekspansi Linkaja, IPO BJB Syariah hingga kabar akuisisi Bank Victoria Syariah secara tidak langsung menunjukkan peningkatan minat investor terhadap perbankan syariah.
Investor tampak mulai menaruh harapan besar terhadap perbankan syariah di Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa investor yang mulai beramai-ramai melirik industri tersebut. Salah satunya adalah aksi korporasi yang dilakukan oleh PT Bank Aladin Syariah Tbk. (BANK). Bank yang sebelumnya bernama Bank Net Syariah tersebut baru saja mengumumkan adanya investor baru yakni perusahaan asuransi digital asal China, ZA Tech Global. Presiden Direktur Bank Aladin Dyota Mahottama Marsudi mengatakan kolaborasi Bank Aladin dan ZA Tech dilakukan untuk mengambil kesempatan dan memastikan layanan finansial yang apik. “Kami sangat bangga mengumumkan bahwa Zhong An Tech menjadi satu investor kami,” pekan lalu. Adapun, dari sisi kinerja Bank Aladin masih terkontraksi. Emiten dengan kode saham BANK tersebut masih mencatatkan rugi bersih sebesar Rp121,27 miliar sepanjang tahun lalu. Namun demikian, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan capaian periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada 2020, Bank Aladin mampu mencatatkan laba bersih sebesar Rp44,86 miliar. Langkah untuk mengakses bisnis bank digital syariah juga muncul dari LinkAja. Belum lama ini, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mendorong dan mendukung rencana spin off layanan syariah LinkAja menjadi LinkAja Syariah oleh PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). LinkAja Syariah nantinnya akan berdiri sendiri sebagai bank syariah digital di Indonesia. “Saya mendorong dan setuju rencana spin off layanan syariah LinkAja menjadi LinkAja Syariah. Saya juga mendorong berbagai unit, termasuk BPD, agar bank-bank daerah dapat menjadi bank umum,” ujarnya dalam keterangan tertulis. Wapres menekankan pentingnya aspek kehati-hatian dan kesesuaian syariah dalam ekspansi LinkAja. Pesan lain yakni optimalisasi persiapan dalam memenuhi segala persyaratan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, upaya serupa juga diusung oleh PT Bank Jabar Banten Syariah. Corporate Secretary Bank BJB Widi Hartoto menyatakan persiapan anak usaha perusahaan sebagai bank digital juga berbarengan dengan persiapan menuju IPO.
Dia menambahkan, rencana IPO BJB Syariah telah masuk ke dalam rencana bisnis bank (RBB) 2022, serta corporate plan Bank BJB Syariah. Adapun, aksi pencatatan saham perdana BJB Syariah ditargetkan dilakukan pada paruh kedua tahun ini. Direktur Utama Bank BJB Syariah Indra Falatehan mengatakan IPO dalam rangka penguatan permodalan, ekspansi bisnis, dan mengembangkan infrastruktur teknologi produk digital. “Kami sangat bersyukur karena Bank BJB sebagai induk perusahaan mendukung penuh BJB Syariah menjadi bank digital,” kata Indra dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu. Di sisi lain, daya tarik terhadap bank syariah juga muncul dari entitas PT Bank Victoria Tbk. (BVIC), yakni Bank Victo-ria Syariah. Baru-baru ini, Bank Victoria Syariah sempat dikabarkan sedang didekati oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Kendati demikian, emiten berkode saham BBTN tersebut menyampaikan bahwa hal tersebut hanya rumor. “Gosip. Tidak ada [mendekati Bank Victoria untuk akuisisi],” kata Wakil Direktur Utama Bank BTN Nixon NP Napitupulu kepada Bisnis. Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, Bank Victoria mendekati BTN karena mengetahui rencana bank pelat merah tersebut untuk memisahkan unit usaha syariah menjadi bank umum syariah. Sebelum munculnya kabar pendekatan yang dilakukan BBTN, Bank Victoria Syariah juga sempat dikabarkan dilirik oleh perusahaan teknologi finansial (fi ntech) PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha. Berdasarkan laporan Dealstreetasia pekan lalu, perusahaan fintech yang fokus pada perempuan pelaku usaha mikro tersebut bakal mengakuisisi 70 persen saham dari Bank Victoria Syariah. Selanjutnya, Amartha akan berupaya membawa bank yang diakuisisi tersebut menjadi bank digital di Indonesia.
Bank Victoria juga jauh-jauh hari telah menyatakan bakal melepas Bank Victoria Syariah. Dalam paparan publik yang digelar September 2021, Ahmad Fajar mengatakan bahwa BVIC sudah memiliki investor baru dalam aksi tersebut. Dia menuturkan investor baru tersebut sedang dalam proses due diligence atau uji tuntas terkait dengan pemenuhan modal. Rencana ini merupakan bagian dari upaya perseroan untuk meningkatkan permodalan dalam rangka memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun di akhir 2022. CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra, tidak menampik ataupun membenarkan kabar itu Menurutnya, Amartha terus berupaya mencapai visi besarnya yakni kesejahteraan yang merata melalui kolaborasi dan sinergi baik dengan pendana individu maupun institusi. Andi melanjutkan bahwa Amartha tetap berkomitmen mengembangkan layanannya di Indonesia dalam memberdayakan perempuan melalui pendampingan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dengan menyediakan layanan keuangan inklusif. “Kami akan terus mencari peluang dan jalan yang potensial untuk mendukung upaya pengembangan bisnis kami,” ujarnya kepada Bisnis pekan lalu. Apabila kabar akuisisi Bank Victoria Syariah oleh Amartha terlaksana, maka akan menyusul langkah serupa yang dilakukan oleh PT Alami Fintek Sharia (Alami) pada 2021 lalu. Kala itu fintech Alami juga bermanuver dengan mengakuisisi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di wilayah DKI Jakarta. BPRS itu akan dikembangkan secara digital bernama Bank Hijra.
Pengamat digital dan ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai industri perbankan syariah, terutama yang bergerak di sektor digital terbilang sangat potensial. “Peluang ini juga akan bisa menumbuhkan industri keuangan syariah di Indonesia yang kecil di dalam negeri. Masyarakat diberikan pilihan layanan perbankan digital yang sesuai dengan prinsip syariah,” katanya kepada Bisnis. Meski begitu, lanjutnya, proses pendirian bank digital syariah terbilang memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya adalah, ketentuan modal inti untuk mendirikan bank digital yang mencapai Rp10 triliun. Ketentuan modal inti tersebut terbilang cukup besar. “Cara yang lebih mudah yaitu dengan akuisisi atau kerjasama dengan bank umum dengan biaya modal inti yang lebih kecil. Makanya banyak dari perusahaan digital yang memilih mengakuisisi perbankan alih-alih membentuk bank baru,” jelasnya. Tantangannya selanjutnya adalah penetrasi layanan syariah masih berfokus pada pasar tertentu, seperti contohnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurutnya, bank digital syariah perlu memperluas layanannya agar dapat bersaing dengan bank digital konvensional.
Setali tiga uang, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perluasan layanan dan bisnis bank syariah ke sektor bank digital menjadi sebuah kewajaran. Sehingga tidak mengherankan jika segmen bank syariah, selain diincar oleh fintech, juga diminati oleh bank digital yang kini memiliki layanan keuangan syariah. “Di segmen bank syariah, layanan ijarah menjadi yang paling besar potensinya. Sebab layanan ini hampir serupa dengan layanan kredit multiguna di bank konvensional. Ketika bank-bank digital masuk ke segmen syariah, maka peluang mereka memperluas saluran pembiayaan makin besar,” katanya kepada Bisnis belum lama ini. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan pada akhirnya baik bank konvensional maupun bank syariah bakal menuju bank digital. “Tetapi sekarang ini belum terlihat bank yang benar-benar dikembangkan untuk menuju bank syariah yang sepenuhnya memberikan layanan digital,” kata Piter. Dengan begitu, lanjutnya, potensi bank digital syariah masih cukup besar dan menarik. Dalam konteks persaingan bank digital sendiri, kecepatan sangat menentukan. Salah satu kunci dari kesuksesan bank digital ditentukan oleh kecepatan membangun ekosistem. “Saya melihat dalam jangka satu dua tahun ini tren merger akuisisi dalam pengembangan ekosistem digital masih akan terus marak terjadi,” tambahnya.
Sumber: Bisnis Indonesia (13 April 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |