Bisnis, JAKARTA — Sejumlah kalangan menilai program pemerintah menurunkan biaya logistik sulit tercapai menyusul tidak efektifnya cetak biru Sistem Logistik Nasional yang disusun sejak 2012.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai payung hukum sektor logistik berjalan tidak efektif. Dengan cetak biru Sislognas yang tidak efektif, dia mengatakan program kementerian dan lembaga (K/L) dalam bidang logistik sulit direncanakan dan diterapkan secara sinergis dan optimal. “Pada saat ini sektor logistik Indonesia mengalami darurat regulasi,” ujarnya, Senin (7/2). Dalam periode itu, pencapaian peta jalan dan rencana aksi Sislognas rendah serta tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala. Bahkan, rencana aksi Sislognas baru tersusun untuk tahap I yakni periode 2011-2015. Untuk rencana aksi tahap II dan III yakni periode 2016-2025, lanjutnya, hingga kini belum dirumuskan. Selain itu, belum ada alat evaluasi secara organisasi, sehingga implementasi Sislognas sulit diukur. Untuk pengembangan sistem logistik, saat ini tidak ada K/L yang ditugaskan secara khusus dalam regulasi Sislognas. Koordinasi pelaksanaan Sislognas dilakukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dibubarkan melalui Perpres 82/2020. “Namun fungsinya terkait koordinasi Sislognas belum dialihkan,” kata Setijadi. Oleh karena itu, dia menyampaikan tiga rekomendasi utama pengembangan sistem logistik. Pertama, pencabutan Perpres 26/2012 dan penetapan regulasi baru minimal dalam bentuk peraturan pemerintah agar lebih kuat implementasinya. Setijadi menilai penyesuaian harus dilakukan terhadap dinamika pembangunan, serta perkembangan teknologi dan pola bisnis global.
Kedua, pembentukan Badan Logistik Nasional untuk mengoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan perbaikan dan pengembangan sistem logistik yang bersifat multisektoral. Ketiga, pembentukan undang-undang logistik sebagai regulasi yang kuat. Menurutnya, salah satu faktor penyebab tak efektinya implementasi Sislognas adalah masalah hirarki regulasinya. “Tanpa regulasi yang efektif, berbagai isu dalam sektor logistik akan sulit teratasi, seperti biaya logistik yang tinggi, ketidakseimbangan volume muatan antarwilayah, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih regulasi,” imbuhnya. Dia menyebutkan Logistics Performance Index (LPI) sulit terkerek tanpa ada perbaikan di Sislognas. Pada 2018, LPI Indonesia pada peringkat ke-46, di bawah Singapura yang berada di peringkat ke-7, Thailand peringkat ke-32, Vietnam peringkat ke-39, dan Malaysia ke-41. Dosen di Sekolah Kebijakan dan Strategi Global (SKSG) Universitas Indonesia Ibrahim Khoilul Rohman juga menyatakan integrasi sistem logistik belum berjalan efektif kendati sudah ada Sislognas yang dibuat sejak 10 tahun lalu. Namun, dia menyatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memiliki payung hukum baru yaitu Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2020 yang mengatur National Logistic Ecosystem (NLE). “Apakah sudah berjalan efektif, tentu saja belum karena challenge tidak gampang, ada multimoda, setiap segmen logistik itu segmennya berbeda, setiap segmen market factornya berbeda,” kata Ibrahim. Dia berpandangan pemerintah bisa menyelesaikan persoalan logistik yang selama ini sudah ada di depan mata. Per Oktober 2021, dia mencatat biaya logistik Indonesia mulai naik signifi kan sebagai dampak stagnasi perdagangan global.
“NLE sih lumayan baik dikelola dengan Bea Cukai mengintregasikan dan streamline, terintegrasi dalam satu sistem. Challengenya sekali lagi di Indonesia kebijakan yang perlu diintegrasikan harus diselesaikan dari ujung ke ujung,” kata Ibrahim yang juga Ketua Forum Logistik Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Sementara itu, Kepala Badan Logistik & Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan menyatakan, sebagai pihak yang terlibat dalam kelahiran Sislognas, memang belum terlaksana dengan utuh. Oleh karena itu, Akbar menyatakan Kadin Indonesia membentuk badan yang khusus menangani logistik dan rantai pasok nasional. “Harapan kami badan logistik yang dimotori oleh dunia usaha dalam hal ini di bawah Kadin Indonesia yang isinya di dalamnya adalah para pihak yang merancang kelahiran Sislognas ini betul-betul menjadi mitra strategis dari pemerintah,” kata Akbar. Dia juga mengingatkan pembenahan logistik tak selamanya membutuhkan regulasi baru. Namun, Akbar mengatakan regulasi juga bisa menghambat dan berbiaya tinggi jika tidak tepat sasaran. Menurutnya, regulasi logistik harus tepat sasaran dan tepat waktu agar tidak menjadi bumerang. Dia berharap pemerintah tidak berlomba-lomba melahirkan regulasi. Yang terpenting, dia menegaskan pemerintah bisa memberikan solusi berupa regulasi yang memang dibutuhkan, baik di tingkat pusat, kementerian atau lembaga, maupun daerah. “Ini yang harus dikaji lebih dahulu supaya tidak terkesan dan terburu-buru melahirkan regulasi. Kita juga harus berhati-hati dan selektif dalam hal memproduksi regulasi,” imbuhnya.
Sumber : Bisnis Indonesia (8 Februari 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |