Penerapan Sislognas Tak Jalan

Selasa, 08 Feb 2022

Bisnis, JAKARTA — Sejumlah kalangan menilai program pemerintah menurunkan biaya logistik sulit tercapai menyusul tidak efektifnya cetak biru Sistem Logistik Nasional yang disusun sejak 2012.

Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai payung hukum sektor logistik berjalan  tidak  efektif. Dengan  cetak  biru  Sislognas  yang  tidak  efektif,  dia  mengatakan  program  kementerian  dan  lembaga  (K/L)  dalam  bidang  logistik sulit direncanakan dan diterapkan secara  sinergis  dan  optimal. “Pada  saat  ini  sektor  logistik  Indonesia  mengalami  darurat  regulasi,”  ujarnya,  Senin  (7/2). Dalam periode itu, pencapaian peta jalan dan  rencana  aksi  Sislognas  rendah  serta  tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala.  Bahkan,  rencana  aksi  Sislognas  baru tersusun untuk tahap I yakni periode 2011-2015. Untuk rencana aksi tahap II dan III yakni periode  2016-2025,  lanjutnya,  hingga  kini  belum  dirumuskan.  Selain itu, belum ada alat evaluasi secara organisasi, sehingga implementasi Sislognas sulit  diukur. Untuk  pengembangan  sistem  logistik,  saat  ini  tidak  ada  K/L  yang  ditugaskan  secara  khusus  dalam  regulasi  Sislognas.  Koordinasi  pelaksanaan  Sislognas  dilakukan  Komite  Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025  yang  dibubarkan  melalui  Perpres  82/2020.  “Namun  fungsinya  terkait  koordinasi  Sislognas  belum  dialihkan,”  kata  Setijadi. Oleh karena itu, dia menyampaikan tiga rekomendasi  utama  pengembangan  sistem logistik. Pertama, pencabutan Perpres 26/2012  dan  penetapan  regulasi  baru  minimal dalam bentuk peraturan pemerintah agar  lebih  kuat  implementasinya.  Setijadi  menilai  penyesuaian  harus  dilakukan  terhadap  dinamika  pembangunan,  serta  perkembangan  teknologi  dan  pola  bisnis  global.

Kedua, pembentukan Badan Logistik Nasional untuk mengoordinasikan perencanaan, pelaksanaan,  dan  pemantauan  perbaikan  dan  pengembangan  sistem  logistik  yang  bersifat  multisektoral.  Ketiga,  pembentukan  undang-undang  logistik  sebagai  regulasi  yang  kuat.  Menurutnya,  salah  satu  faktor  penyebab  tak  efektinya  implementasi  Sislognas  adalah  masalah  hirarki  regulasinya.  “Tanpa regulasi yang efektif, berbagai isu dalam  sektor  logistik  akan  sulit  teratasi,  seperti  biaya  logistik  yang  tinggi,  ketidakseimbangan volume muatan antarwilayah, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih  regulasi,”  imbuhnya. Dia  menyebutkan  Logistics  Performance  Index (LPI) sulit terkerek tanpa ada perbaikan di Sislognas.  Pada 2018, LPI Indonesia pada peringkat ke-46, di bawah Singapura yang  berada  di  peringkat  ke-7,  Thailand  peringkat ke-32, Vietnam peringkat ke-39, dan  Malaysia  ke-41. Dosen di Sekolah Kebijakan dan Strategi Global (SKSG) Universitas Indonesia Ibrahim Khoilul Rohman juga menyatakan integrasi sistem logistik belum berjalan efektif kendati sudah ada Sislognas yang dibuat  sejak  10  tahun  lalu.  Namun,  dia menyatakan pemerintahan Presiden Joko  Widodo  telah  memiliki  payung  hukum  baru  yaitu  Instruksi  Presiden  (Inpres)  No.5/2020  yang  mengatur  National  Logistic  Ecosystem  (NLE).  “Apakah sudah berjalan efektif, tentu saja belum karena challenge tidak gampang,  ada  multimoda,  setiap  segmen  logistik itu segmennya berbeda, setiap segmen market  factornya  berbeda,”  kata  Ibrahim. Dia  berpandangan  pemerintah  bisa  menyelesaikan persoalan logistik yang selama ini sudah ada di depan mata. Per  Oktober  2021,  dia  mencatat  biaya  logistik  Indonesia  mulai  naik  signifi kan  sebagai  dampak  stagnasi  perdagangan  global.

“NLE  sih  lumayan  baik  dikelola  dengan  Bea  Cukai  mengintregasikan  dan streamline, terintegrasi dalam satu sistem. Challengenya  sekali  lagi  di  Indonesia  kebijakan  yang  perlu  diintegrasikan  harus  diselesaikan  dari  ujung  ke  ujung,”  kata  Ibrahim  yang  juga Ketua Forum Logistik Masyarakat Transportasi  Indonesia  (MTI).  Sementara  itu,  Kepala  Badan  Logistik  &  Rantai  Pasok  Kadin  Indonesia  Akbar  Djohan  menyatakan,  sebagai  pihak  yang  terlibat dalam kelahiran Sislognas, memang belum  terlaksana  dengan  utuh.  Oleh  karena  itu,  Akbar  menyatakan  Kadin  Indonesia  membentuk  badan  yang  khusus  menangani  logistik  dan  rantai  pasok  nasional.  “Harapan  kami  badan  logistik  yang  dimotori  oleh  dunia  usaha  dalam  hal  ini  di  bawah  Kadin  Indonesia  yang  isinya  di  dalamnya  adalah  para  pihak  yang  merancang  kelahiran  Sislognas  ini  betul-betul  menjadi  mitra  strategis  dari  pemerintah,”  kata  Akbar.  Dia juga mengingatkan pembenahan logistik tak selamanya membutuhkan regulasi baru. Namun, Akbar mengatakan  regulasi juga bisa menghambat dan berbiaya tinggi jika  tidak  tepat  sasaran. Menurutnya,  regulasi  logistik  harus  tepat  sasaran  dan  tepat  waktu  agar  tidak  menjadi  bumerang.  Dia  berharap  pemerintah  tidak  berlomba-lomba  melahirkan  regulasi.  Yang  terpenting,  dia  menegaskan  pemerintah  bisa  memberikan  solusi  berupa  regulasi  yang memang dibutuhkan, baik di tingkat pusat, kementerian atau lembaga, maupun daerah. “Ini yang harus dikaji lebih dahulu supaya tidak terkesan dan terburu-buru melahirkan regulasi.  Kita  juga  harus  berhati-hati  dan  selektif dalam hal memproduksi regulasi,” imbuhnya.

 

Sumber : Bisnis Indonesia (8 Februari 2022)


One Line News

Investalearning.com
Admin (Online)