Sebelum menasbihkan diri sebagai bank digital lalu mencuri perhatian lewat rights issue pada awal tahun ini, Allo Bank (BBHI) sempat terjerat kasus saat masih bernama Bank Harda Internasional.
Belum lama ini nama PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) berhasil mencuri perhatian publik, lantaran aksi rights issue yang dilakukannya berhasil menarik minat sejumlah perusahaan besar. Minat itu di antaranya datang dari perusahaan milik keluarga Sariaatmadja dan Grup Salim. Dalam aksi korporasi yang dilakukan pada bulan lalu tersebut, BBHI tercatat membukukan dana sebesar Rp4,8 triliun dari aksi penambahan dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) III atau rights issue. Selain karena melibatkan sejumlah taipan, tentunya selain Chairul Tanjung (CT) sebagai pemegang saham pengendali, aksi rights issue yang dilakukan BBHI dinilai menarik oleh publik dan investor lantaran identitasnya sebagai bank digital. Namun, bagaimanakah rekam jejak Allo Bank sebelum akhirnya berhasil menjadi salah satu bank digital yang mulai diperhitungkan di Indonesia?Sebelum dicaplok oleh PT Mega Corpora yang merupakan salah satu perusahaan Grup Chairul Tanjung atau CT Corp, Allo Bank dikenal dengan nama PT Bank Harda Tbk. Adapun, PT Hakim Putra Perkasa (HPP) tercatat menjadi pemegang saham pengendali dari BBHI sebelum masuknya CT Corp. Berdasarkan laman resmi Bank Harda, sejarah berdirinya emiten bersandi BBHI ini bermula dari dibentuknya badan hukum PT Bank Arta Griya pada 21 Oktober 1992, yang kemudian berubah nama menjadi PT Bank Harda Griya atau Bank Harda. Kemudian, Bank Harda resmi beroperasi pada 10 Oktober 1994. Pada 1996, Bank Harda mulai memperluas usahanya dengan membuka tiga cabang pembantu yang terletak di kawasan Fatmawati, Kelapa Gading, dan Tanah Abang. Seiring perkembangannya, pada 10 Desember 1996, Badan Hukum Bank Harda Griya berubah menjadi PT Bank Harda Internasional (BHI). Langkah perseroan pun berlanjut pada usia ke 21, dengan melantai di Bursa Efek Indonesia. Hal itu ditandai dengan aksi penawaran umum saham perdana (IPO) pada 21 Agustus 2015.Kala itu, Bank Harda melego 800 juta lembar saham seharga Rp100 per lembar saham dengan harga penawaran Rp125 per lembar saham. Lama tak terdengar kabarnya usai IPO, nama Bank Harda mendadak muncul ke permukaan pada medio Juli 2020. Kemunculan nama BBHI disebabkan oleh adanya kasus penjualan produk non-bank.
Berdasarkan catatan Bisnis, penjualan produk non-bank di Bank Harda yang dimaksud yakni forward trade confirmation (FTC). Produk tersebut dipasarkan ke nasabah Bank Harda oleh oknum bank. Temuan itu pun menyeruak dilakukan setelah OJK melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap data transaksi pada core banking selama 2017-2019 menemukan adanya transaksi pemindahbukuan dari rekening beberapa nasabah Kantor Cabang Bandung kepada rekening PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Harda. Keterangan pemindahbukuan tersebut adalah pembelian saham Bank Harda Internasional melalui rekening HPP. Ketika dilakukan sampling mutasi rekening pegawai, ditemukan transfer dana dari rekening HPP ke pemimpin Kantor Cabang Bandung dengan nilai Rp112,495 juta atau 1,73% dari total transaksi pembelian saham senilai Rp6,5 miliar. Transfer dana tersebut terbagi dalam dua tahap, yakni pada 18 Mei 2018 senilai Rp72,495 juta dan pada 7 September 2018 senilai Rp40 juta. Dari hasil pemeriksaan, dana masuk tersebut merupakan komisi hasil penjualan produk FTC saham Bank Harda dengan besaran yang beragam. FTC merupakan kontrak antara penjual yakni nasabah Bank Harda KC Bandung dengan pembeli HPP. Perlu diketahui, produk FTC merupakan perjanjian jual beli saham Bank Harda melalui PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang kala itu menjadi pemegang saham pengendali BBHI. Penjualan FTC yang dilakukan oknum bank tersebut menjadi salah karena bukan merupakan produk bank. Tak selang lama, manajemen BBHI pun mengumumkan, masalah tersebut telah diselesaikan dengan mengembalikan dana ke beberapa nasabah. Manajemen perseroan pun memberikan kode bahwa, dalam waktu dekat investor strategis akan masuk ke perusahaan pada 2020. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2020, melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, BBHI mengumumkan, pemegang saham mayoritas yakni PT Hakim Putra Perkasa akan menjual 3,08 miliar saham atau 73,71% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan kepada PT Mega Corpora.
Berdasarkan ringkasan pengambilalihan yang diterbitkan Bank Harda pada 4 Desember 2020, perseroan menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 29 Januari 2021 untuk meminta restu pemegang saham terkait akuisisi. Sebelum rencana pengambilalihan saham tuntas, Bank Harda menempuh sejumlah tahap. Sebelum menggelar RUPSLB pada 29 Januari 2021, Bank Harda mempersilahkan para kreditur untuk menyampaikan keberatan terhadap rencana akuisisi. Emiten bersandi saham BBHI itu memberikan jangka waktu hingga 18 Desember 2020. Bank Harda berhasil menggelar Penawaran Umum Terbatas (PUT) II pada Mei 2021. Sebagai pemegang saham pengendali, Mega Corpora melaksanakan seluruh haknya. Dalam aksi itu pula, Mega Corpora melakukan penawaran tender wajib dengan jumlah 681,53 juta saham. Dari tender wajib tersebut, Mega Corpora menjadi pengendali di BBHI dengan porsi kepemilikan hingga 90% sejak akhir Mei 2021. Nama Bank Harda diubah jadi Allo Bank yang efektif 30 Juni 2021. Adapun, sejak CT Corp masuk ke tubuh BBHI, proses transformasi menjadi bank digital pun telah dimulai. Bahkan, langkah bersih-bersih di tubuh pengurus perusahaan dari pejabat sebelumnya, terutama yang terlibat kasus FTC terus dilakukan, Nama-nama trah Rahmah Hakim, pemilik PT HPP pun tak lagi disisakan di dalam struktur perusahaan. Terbaru, proses transformasi dan aksi korporasi BBHI dilakukan dengan melakukan rights issue lanjutan. Lewat aksi penambahan modal melalui PUT III oleh BBHI, ternyata dibarengi dengan masuknya investor baru. Mereka adalah PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) menjadi pemegang saham terbesar kedua setelah Mega Corpora dengan besaran 11,49%.
Selain itu, ada pula nama Abadi Investment Pte. Ltd. dengan kepemilikan 7%, PT Indolife Investama Perkasa (Salim Group) menguasai 6%, dan pemegang saham kurang dari 5% yakni H Holdings Inc. (Grab) sebesar 2,07%, PT CT Corpora (CT Corp.) sebanyak 1,88%, dan Trusty Cars Pte. Ltd. (Carro) dengan porsi 0,69%.Dalam hal ini, Chairul Tanjung menjamin para mitra strategis yang bergabung dalam mengembangkan bisnis Allo Bank memiliki komitmen kuat dalam jangka panjang dalam pengembangan usaha ke depan. Menurutnya, para mitra sudah terikat perjanjian untuk tidak melepas kepemilikan saham selama 3 tahun. Dia mengatakan, penggabungan ekosistem yang telah mapan dari sisi bisnis di sektor riil merupakan modal dan kekuatan yang besar untuk meningkatkan daya saing. “Ini menjadi kekuatan yang solid, yang luar biasa dan akan susah ditandingi siapa pun. Ini adalah kunci. Penggabungan ekosistem fisik dan digital adalah keniscayaan, tren dunia yang tidak bisa dilawan,” katanya. Selain itu, langkah tersebut menurutnya, memberikan keyakinan dan kepastian kepada para investor terkait dengan prospek bisnis Allo Bank ke depan, termasuk dari sisi pergerakan harga sahamnya.
Sumber : Bisnis Indonesia (9 Februari 2022)
Saham | 07-10-2021 | 08-10-2021 | (+/-) |
---|---|---|---|
ASII | 5,700.00 | 5,900.00 | 3.389% |
BBCA | 35,800.00 | 36,450.00 | 1.783% |
UNVR | 4,830.00 | 4,760.00 | -1.47% |